reinterpretasiayat-ayat kesetaraan gender dan relevansinya dalam konteks indonesia Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free FEMINIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM TELAAH ULANG AYAT-AYAT KESETARAAN GENDER Ihda Haraki Mahasiswa IAIN Madura/ Abstrak Kesetaraan gender merupakan diskursus yang tetap hangat diperbincangkan para feminis Muslim. Penggagas dan pendukung kesetaraan gender tidak jarang mempersoalkan hukum Islam yang dianggap kurang adil dalam memposisikan laki-laki dan perempuan secara berbeda seperti pembebanan azan, shalat Jumat, jumlah kambing saat aqiqah di satu sisi, dan pembebanan menyusui serta merawat anak di sisi yang lain. Artikel ini ingin meluruskan kesalahan dalam pemahaman kaum feminis Muslim tersebut. Teks Alquran dalam Islam bukanlah produk budaya, melainkan wahyu. Islam tidak memiliki sejarah penindasan terhadap kaum perempuan, bahkan memposisikan perempuan dalam posisi yang mulia. Perbedaan peran yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan ditunjukan agar keduanya dapat bermanfaat secara maksimal di dunia, untuk saling bekerja sama dan melengkapi demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat Kata Kunci kesetaraan, gender, feminis, Islam, Alquran Abstract Gender equality is a discourse that is still warm to be discussed by Muslim feminist. Initiators and supporters of gender equality often questioned about Islamic laws that were considered to be unfair since they had positioned man and woman differently such as the obligatory for adhan call for prayer, the Friday prayers, the number of goats in aqiqah welcoming celebration of child’s birth, and the compulsory of breastfeeding and caring for the child. This article wants to correct the errors in understanding these Muslim feminist. The text of the Qur’an in Islam, was not a cultural product, but as a revelation of God to human being in the world. Historically, Islam never surpressed to woman, but it placed woman in a glorious position. Meanwhile, different roles given to man and woman were aimed at getting maximum benefits to the world so that they could work together and complement each other to achieve happiness in the world and the hereafter. Keywords gender, equality, feminist, Islam, Qur’an 2 A. PENDAHULUAN Paling tidak sekitar satu abad feminisme menjadi kosakata paling hidup dalam perbincangan sehari-hari masyarakat dunia, termasuk dunia muslim. Istilah ini menunjuk pada suatu gerakan dan pemikiran yang mempertanyakan, mengkritik sekaligus menuntut pemenuhan atas hak-hak kemanusiaan kaum perempuan. kritisisme kaum feminis diarahkan kepada soal ketertindasan kaum perempuan, aliensi sosial dan perlakuan tidak adil serta kekerasan yang dialami mereka. Kebudayaan manusia selama berabad-abad telah menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang. Perempuan diperlakukan secara subordinat, the second class, dimarjinalkan dari peran-perannya sebagai makhluk sosial dan politik, hanya karena mereka memiliki tubuh perempuan. kaum feminis menggugat struktur kebudayaan dan ideologi yang disebut patriarkisme ini. Ideologi ini telah mendeterminasi laki-laki sebagai makhluk superior, pemegang otoritas yang mendefinisikan struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan dalam perspektif laki-laki, atau lebih tepatnya maskulinitas. Sementara perempuan dalam ideologi ini selalu dipandang sebagai eksistensi yang rendah dan ditempatkan sebagai makhluk domestik dan untuk kepentingan seksualitas laki-laki. Ideologi patriarkis telah muncul sejak abad yang amat dini dalam sejarah peradaban manusia. Konon kisah kejatuhan Adam dari surga gara-gara Hawa; dianggap sebagai titik awal penindasan tersebut. Ia dihidupkan secara terus-menerus dari generasi ke generasi dan kurun waktu yang sangat panjang melalui teks-teks keagamaan dan mitologi-mitologi. Tak pelak, kondisi kebudayaan seperti ini kemudian melahirkan berbagai bentuk aturan, kebijakan, dan praktik-praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang acap kali dianggap sebagai situasi dan praktik yang wajar dan baik-baik saja. Kaum feminis menemukan momentum paling signifikan bagi perjuangan mereka ketika ditemukan kata gender. Kata ini kemudian dijadikan sebagai sebuah alat analisis paling jitu untuk melihat ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan tersebut berikut konsekuensi-konsekuensi dan implikasi-implikasi yang menyertainya. Melalui analisis ini kemapanan relasi timpang antara laki-laki dan perempuan didekonstruksi. Laki-laki dan perempuan menurut kacamata gender tidak bisa dibedakan. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan adalah sama dalam aspek ini. Keduanya dibedakan hanya dalam kaitannya dengan aspek biologisnya atau sex. Laki-laki dicirikan dengan penis dan perempuan dengan vagina. Ini sebagai contoh belaka dari terminologi sex. Aspek ini bersifat permanen, kodrat, given dan karena itu universal. Berbeda dari kategori seks, dalam aspek gender, kedua jenis kelamin ini memiliki potensi kemanusiaan yang sama. Perbedaan mereka dalam aspek ini bersifat konstruksional dan kontekstual. Atas dasar ini 3 perempuan sebagaimana laki-laki memiliki kemampuan untuk melakukan peran-peran sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Perbedaan dalam aspek biologis atau seks tidak mempunyai dasar untuk pembenaran pembedaan dalam aspek peran-peran gender. Oleh karena itu perempuan seharusnya memiliki hak-hak dan akses kehidupan yang sama dengan kaum laki-laki. Kesadaran tentang hal ini merupakan mekanisme paling strategis bagi perubahhan cara pandang masyarakat terhadap relasi laki-laki dan perempuan. inilah yang belakangan secara gegap gempita disosialisasikan dan diperjuangkan para aktifis feminis dalam kerangka mencapai dan mewujudkan cita-cita keadilan manusia secara menyeluruh. Para feminis muslim cukup menyadari bahwa kondisi yang dialami oleh para perempuan, khususnya di negara-negara Islam, bukanlah tanpa sebab. Oleh karena itu, mereka mencoba mengkaji dan mengarahkan perhatian kepada sumber yang menyebabkan terjadinya ketimpangan terhadap kaum perempuan. karena umat Islam sangat memegang teguh ajaran Islam sebagai landasan filosofinya, maka sumber utama ajaran dalam Islam, yaitu Alquran dan hadis. Para feminis menyadari bahwa penting untuk melakukan pendekatan studi dan kajian-kajian, juga reinterpretasi terhadap sumber utama tersebut. Ini disebabkan cara berpikir dan tindakan seorang Muslim dalam kehidupannya, serta kesadaran tentang apa yang sedang dihadapi oleh kaum perempuan tidak lepas dari penafsiran Alquran dan hadis. Sementara beberapa ayat dan hadis secara lahiriah terkadang lebih memihak laki-laki dan menindas perempuan. Keterkaitan antara penafsir Alquran dengan cara pandang Muslim tersebut menghasilkan produk penafsiran yang bias laki-laki sehingga terjadi pengekangan norma-norma keadilan dan sifat egaliter yang menjadi hak perempuan, yang diatasnamakan sebagai sebuah dogma agama atau dari ajaran Alquran. Berangkat dari asumsi di atas dapat disimpulkan bahwa diskriminasi perempuan salah satu faktornya adalah disebabkan oleh penafsiran-penafsiran yang bias patriarki dan tidak memberikan porsi keadilan dan hak-hak perempuan dalam kesetaraan. B. ISI 1. Feminisme dan Gender Kata feminisme berasal dari bahasa latin femina, yang kemudian disadur dalam bahasa Inggris menjadi feminine, yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan gadis atau wanita. Kata feminine kemudian digabung dengan kata ism aliran sehingga menjadi feminism, yang berarti keadaan keperempuanan, atau dapat pula berarti paham keperempuanan Echol & Shadily, 1995. Dalam perkembangannya, secara konseptual feminisme dipakai untuk menunjuk suatu teori persamaan kelamin sexual equality, dan secara historis istilah tersebut muncul pertama kali pada tahun 1895 dan sejak itu pula feminisme dikenal secara luas Zulaiha, 2016. 4 Biasanya, kata feminisme dikaitkan dengan kata gender. Dalam usaha emansipasi kaum perempuan gerakan feminisme, diperlukan pemahaman terhadap konsep gender, sebab saat ini masih terjadi kesalahpahaman tentang gender dan upaya emansipasi tersebut Fakih, 2001. Untuk mengetahui relasi antara gender dan feminisme, maka harus dibedakan terlebih dahulu antara pengertian tentang gender dan sex. Terminologi sex biasanya dikaitkan dengan perbedaan biologis, yakni perbedaan jenis kelamin, yang merupakan kodrat dari Tuhan, oleh karenanya secara permanen berbeda. Terminologi gender dikaitkan dengan perbedaan perilaku behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sodial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan kultural yang panjang Fakih, 2001. Dalam terminologi yang dipakai secara sosial, feminisme mengacu pada kata gender bukan kata sex. Artinya adalah bahwa pembedaan dalam feminisme merupakan pembedaan yang tercipta karena pengaruh konstruksi sosial. Secara historis, kata feminisme pertama kali muncul pada tahun 1859. Feminisme merupakan konsep yang muncul dan mengalami keterkaitan dengan dengan perubahan sosial sosial change, teori-teori pembangunan, kesadaran politik dan gerakan pembebasan kaum perempuan. Dengan luasnya dan terus berkembangnya, rumusan konseptual feminisme dapat dikatakan bukan merupakan state of being melainkan state of becoming yang bersifat dinamis. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh perbedaan realitas sosio-kultural yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan zamannya, atau situasi politik yang melatarbelakangi lahirnya gerakan tersebut. Termasuk berbagai jenis aliran feminisme turut mewarnai adanya adanya perumusan konsep tersebut. Bahkan bila titinjau dari berbagai alirannya, feminisme akan lebih meluas karena tidak terbatas pada konsep melainkan pada gerakan Anshori, 1997. Berbagai aneka sebutan yang dapat disandangkan kepada feminisme menunjukkan bahwa pengertian feminisme menjadi multifaces. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak mudah merumuskan definisi feminisme yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua feminis dalam setiap masa dan tempat. Feminisme harus didefinisikan secara luas agar tidak terjadi kesalahpahaman atau bahkan ketakutan terhadap gerakan feminisme yang bisa saja dikarenakan oleh ketidakpahaman akibat gambaran yang kurang tepat. Mereka menandaskan feminisme merupakan suatu kesadaran atas adanya penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, maupun di dalam keluarga. Serta tindakan sadar oleh laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut Bashin & Khan, 1995. 5 2. Pengaruhnya terhadap Islam Bila ditelusuri sejak awal, sesungguhnya pola-pola yang diperjuangkan oleh kaum feminis sudah ada dalam awal Islam, yang tentunya di zaman Rasulullah. Islam datang untuk menyelamatkan kaum perempuan dan umat manusia dari praktik-praktik yang bertentangan dengan hakikat kemanusiaan seperti itu. Islam mengecam keras tradisi penguburan hidup-hidup anak perempuan, memberikan aturan dan tata cara pernikahan secara jelas, serta mengatur secara jelas hak perempuan untuk mendapatkan warisan. Namun demikian, dalam ensiklopedi The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, dikatakan bahwa feminisme modern dikenal di Islam sejak awal abad 20, meskipun mereka barangkali tidak menggunakan istilah itu. Pemikiran feminisme di dunia Islam dapat dilacak melalui pemikiran-pemikiran Aisha Taymuriyah penulis dan penyair muslim, Zainab Fawwaz esays Libanon, Rokeya Sakhawat Hossain, Nazar Haydar, Emilie Ruete Zanzibar, Huda Shawari, Malak Hifni Nasir, Nabawiyah Musa dari Mesir dan Fame Aliye dari Turki Badran, 1995. Mereka dikenal sebagai para tokoh perintis dalam menumbukan kesadaran atas persoalan gender, termasuk melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak menghalangi kebebasan perempuan. Di Indonesia, gerakan feminisme juga muncul pada awal abad 20. Kartini merupakan tokoh feminis yang pertama kali muncul. Namun demikian, sebagai sebuah istilah yang mapan secara keilmuan, feminisme di Indonesia banyan dikaji sejak awal 1970-an. Walaupun hingga akhir 1980, orang masih kurang begitu respect terhadap istilah tersebut. Masih banyak orang yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan perempuan yang menolak laki-laki anti perkawinan, perusak keluarga, tidak mau memiliki anak, lesbi, dan sebagainya Rachman, 2002. Dalam perkembangannya, pada tahun 1990, istilah feminisme sudah diterima terutama sejak diterbitkannya beberapa buku terjemahan dari para tokoh Muslim, seperti buku dari Riffat Hasan, Fatima Mernisi, Amina Wadud, dan Asghar Ali Engineer Rachman, 2002. 3. Perspektif Kaum Feminis dalam Menafsirkan Ayat Gender Salah satu ayat yang banyak digugat kaum feminis adalah kepemimpinan dalam rumah tangga sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 34   6     Artinya Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Mereka menolak jika ayat itu diartikan sebagai keharusan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga. Bagi mereka, penempatan wanita sebagai pihak terpimpin adalah konsep budaya, bukan hal yang kodrati Husaini & Husni, 2015. Amina Wadud menulis tentang hal ini “Seorang wanita yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpi suatu bangsa menuju upaya masa depan mereka. Demikian juga, seorang suami mungkin saja lebih sabar terhadap anak-anak. Jika tidak selamanya, maka mungkin secara temporer, misalnya ketika istri jatuh sakit, suami harus dibolehkan untuk melaksanakan tugas. Sebagaimana kepemimpinan adalah bukan karakteristik abadi dari semua laki-laki, begitupun perawatan anak bukan karakteristik abadi dari semua wanita”. Amina Wadud adalah salah satu contoh feminis yang yang berusaha menerapkan konsep “kesetaraan gender” dengan cara menafsirkan ulang ayat-ayat yang dianggap merugikan perempuan. Dalam perspektifnya, banyak hukum Islam yang selama ini diterapkan di tengah masyarakat Islam adalah hasil konstruksi kaum laki-laki. Wadud ingin membuat konstruksi hukum baru dalam perspektif dan kepentingan perempuan. Pendukung ide kesetaraan gender memandang hukum-hukum Islam yang membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan perlu ditinjau kembali, karena hal itu termasuk dalam kategori “bias gender” dan menindas perempuan. Dalam aspek ibadah misalnya, dipersoalkan mengapa azan harus dilakukan oleh laki-laki; mengapa perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki; mengapa dibedakan cara mengingatkan imam yang salah bagi makmum laki-laki dan makmum perempuan; mengapa shaf perempuan harus di belakang; mengapa imam dan khatib shalat Jumat harus laki-laki. Pembedaan jumlah kambing aqiqah bagi anak laki-laki dan perempuan juga turut dipertanyakan. Dalam masalah haji, dipersoalkan keharusan perempuan ditemani oleh mahramnya, sedangkan laki-laki tidak. Juga, terkait pembedaan pakaian ihram bagi jamaah haji laki-laki 7 dan perempuan. Dalam urusan rumah tangga, dipermasalahkan keharusan istri untuk meminta izin suami jika hendak keluar rumah. Juga, ketiadaan talak bagi perempuan. “Talak seharusnya merupakan hak suami dan istri, artinya kalau memang suami berbuat salah selingkuh, istri punya hak menalak suami.” Selain itu, mereka juga menggugat tugas seorang ibu untuk menyusui dan mengasuh anak-anaknya. “Seorang ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat di luar kodrati itu dapat dilakukan oleh seorang bapak. Seperti mengasuh, menyusui dapat diganti dengan susu formula, membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan minum, serta menjaga keselamatan keluarga.” Selain itu, peranan dan kontribusi para perempuan istri dapat dilihat dari banyaknya waktu yang dicurahkan untuk setiap kegiatan yang dilakukan baik pada kegiatan produktif, reproduktif maupun kegiatan sosial Ariwidodo, 2016. Akan tetapi, hal itu jarang sekali diperhitungkan di kalangan masyarakat umum. Kecurigaan terhadap agama telah mengaburkan pikiran rasional yang lurus. Perumpamaan seorang anak, ketika orang tua mewajibkan anak lain mencuci piring sedangkan ia dibebaskan dari tugas tersebut, pastilah sang anak merasa sangat senang. Oleh karena itu, protes atau pembebasan kewajiban azan bagi perempuan ataupun aqiqah cukup satu kambing merupakan keberatan yang tidak masuk akal. Allah memberi kaum perempuan tugas lain sesuai kodratnya. Salah satunya adalah menyusui, karena Allah mengaruniai wanita sepasang payudara untuk tugas tersebut. 4. Telaah Ulang Ayat-ayat Kesetaraan Gender Perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang menjadi kepastian. Karena perbedaan sudah menjadi kodrat yang sudah termaktub dalam Alquran. perbedaan tersebut dari segi biologis antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan Islam, Allah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kodrat. Sebagaimana yang disebutkan dal Alquran surat Al-Qamar ayat 49  Artinya sesungguhnya sesuatu Kami ciptakan dengan qadar. Oleh para pakar, qadar berarti ukuran-ukuran atau sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah bagi segala sesuatu. Dalam hal itulah yang dimaksudkan dalam istilah kodrat. Dengan demikian laki-laki maupun perempuan, sebagai makhluk individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing Wartini, 2013. Selain itu, Allah juga memberikan keistimewaan pada keduanya. Seperti yang disebutkan dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 32 8   Artinya janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain, laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan yang sudah diciptakan oleh Allah terhadap laki-laki dan perempuan, menyebabkan adanya fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan berbeda atas dasar fungsi dan berbeda-beda dalam tugas yang diemban. Laki-laki dan perempuan juga memperoleh kesamaan hak, atas apa yang diusahakannya atau sesuai dengan apa yang menjadi kewajibannya. Perbedaan biologis manusia tidak menjadikan perbedaan atas potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan. keduanya memiliki tingkat kecerdasan dan kemampuan berpikir yang sama yang dianugerahkan oleh Allah. Di dalam Alquran, Allah memuji Ulil Albab, yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian dan bumi. Zikir dan pikir yang mengantarkan manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia alam semesta. Ulil Albab tidak terbatas dalam laki-laki tetapi juga untuk perempuan. karena setelah Alquran menguraikan ayat-ayat yang membahas sifat-sifat ulul abab, berikutnya Alquran menegaskan dalam surat Ali-Imran ayat 195    Artinya maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan firman Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan. karena sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain.” Dengan demikian, kaum perempuan setara dan sejajar dengan kaum laki-laki dalam potensi intelektualnya. Sebagaimana kaum laki-laki, perempuan mempunyai kemampuan berpikir, mempelajari, dan mengamalkan apa yang mereka hayati dan bertafakur serta bezikir kepada Allah. Selain itu juga dari yang mereka pikirkan tentang alam semesta ini. Laki-laki dan perempuan juga sama dan setara di hadapan Allah. Memang dalam Alquran terdapat ayat yang berbicara tentang laki-laki sebagai pemimpin para perempuan, akan tetapi kepemimpinan tersebut tidak boleh mengantarkan kepada kesewenang-wenangan. Karena Alquran di satu sisi memerintahkan untuk tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan. Pada sisi yang lain Alquran juga memerintahkan untuk 9 berdiskusi dan musyawarah dalam persoalan mereka. Tugas kepemimpinan itu selintas adalah sebagai sebuah keistimewaan dan “derajat yang tinggi” dari perempuan. namun derajat itu adalah kebesaran hati suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban-kewajibannya. Persamaan antara laki-laki dan perempuan , juga persamaan antar bangsa, suku, dan keturunan, adalah pokok ajaran dan prinsip utama dalam ajaran Islam. Dalam Alquran, Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13  Artinya hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. Ayat di atas menegaskan tinggi rendah derajat seseorang ditentukan oleh nilai pengabdian dan ketakwaan kepada Allah. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan yang mendasar dan substansial dalam beberapa hal utama seperti asal kejadian, hak-haknya dalam berbagai bidang, dan kedudukan serta perannya, tugas lagi tanggung jawabnya. Dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menyatakan penafsiran ayat-ayat tentang penciptaan perempuan Hawa yang berasal dari tulang rusuk laki-laki Adam sesungguhnya adalah sebuah ide yang mempengaruhi. Seperti yang pernah diutarakan oleh Rasyid Ridha, bahwa ide tentang kisah Adam dan Hawa seperti itu adalah berasal dari kitab perjanjian lama. Dan sesungguhnya Alquran tidak pernah memuat ide tersebut secara eksplisit di dalam redaksi ayat-ayatnya. Justru Alquran diturunkan dalam rangka mengikis segala perbedaan yang membedakan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Sedangkan hak-hak perempuan, baik hak di luar rumah, hak memperoleh pendidikan, hak politik dan sebagainya, setara dan sederajat dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Demikian juga dengan kewajiban dan peran perempuan, Alq uran tidak mendeskriminasi perempuan, dan membicarakan hal itu semua dalam konteks keadilan dan kesetaraan. C. PENUTUP Pada hakikatnya Alquran diturunkan dalam rangka mengikis segala perbedaan yang yang membedakan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Sedangkan hak-hak perempuan baik hak di 10 luar rumah, hak memperoleh pendidikan, hak politik, dan sebagainya setara dan sederajat dengan hak yang dimiliki kaum laki-laki. Alquran tidak mendeskriminasi perempuan, dan membicarakan hal itu semua dalam konteks keadilan dan kesetaraan. Dari uraian mengenai tata cara penafsiran kaum feminis Muslim, terlihat bahwa mereka sendiri terjebak dalam pra-pemahaman’ subjektif dari konsep gender sekular-liberal yang jelas-jelas bukan merupakan produk peradaban Islam. Keadilan’ menurut Islam maksudnya bukanlah sama-rata sama-rasa, namun menempatkan sesuatu sesuai koridor fitrahnya masing-masing. Allah swt. telah membagi peran untuk laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi. Salah satunya adalah peran perempuan sebagai rabbat al-bayt pengelola rumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Perbedaan peran bukanlah suatu penistaan terhadap perempuan. setiap peranan akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat. Allah tidak mewajibkan perempuan mencari nafkah, tidak wajib shalat Jumat, dan sebagainya, bukan berarti Allah menghinakan perempuan. Allah justru menunjukkan kasih sayang kepada perempuan dengan mengurangi beberapa beban tersebut. Jika kesaksian perempuan dihargai setengah laki-laki dalam urusan kriminal, justru itu lebih meringankan perempuan. Sebab, menjadi saksi bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, tanggung jawabnya berat. Program perlindungan saksi merupakan bukti posisi saksi yang dapat membahayakan nyawa. Pada akhirnya, walaupun dengan beban yang berbeda, baik perempuan maupun laki-laki dapat menggapai pintu surga. DAFTAR PUSTAKA Anshori, Dadang S, “Dari Feminis hingga Feminin”, dalam jurnal Membincangkan Feminisme, Bandung Pustaka Hidayah, 1997 Ariwidodo, Eko, “Kontribusi Pekerja Perempuan Pesisir Sektor Rumput Laut di Bluto Kabupaten Sumenep”, dalam jurnal Nuansa, Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2016 Badran, Margot, “Feminism”, dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, jilid 2, Oxford Oxford University Press, 1995 Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok mengenai Feminisme dan Releansinya, Jakarta Gramedia, 1995 Echol, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1995 Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001 11 Husaini, Adian dan Rahmatul Husni, “Problematika Tafsir Feminis Studi Kritis Konsep Kesetaraan Gender”, dalam jurnal Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2, November 2015 Rachman, Budhy Munawar, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme di Indonesia”, dalam jurnal Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002 Wartini, Atik, “Tafsir Feminis Shihab Telaah Ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-Misbah”, dalam jurnal Palastren, Desember 2013 Zulaiha, Eni, “Tafsir Feminis Sejarah, Paradigma dan Standar Validitas Tafsir Feminis”, dalam jurnal Al-Bayan Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 1, No. 1, Juni 2016 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this HusainiRahmatul Husnip> Abstract Gender equality is a discourse that is still warm to be discussed by Muslim feminists. Initiators and supporters of gender equality often questioned about Islamic laws that were considered to be unfair since they had positioned men and women differently such as the obligotary for adhan call for prayer, the Friday prayers, the number of goats in aqiqah welcoming celebretion of child’s birth, and the compulsory of breastfeeding and caring for the child. Through content analysis, this study tried not only to elaborate a number of products of reintepretation based on Qur'anic Hermeneutics version of the female models but also show the history of the ideology of feminism and the inappropriateness of using hermeneutical exegesis. Feminism departed from the ideology of hatred as a form of resistance against the oppression of women that occurred in Western Christian civilization in th past. Hermeneutical exegesis approach also came from an academic Christian tradition that considered Bible text not as a God’s revelation. Both conditions were diametrically opposed to the fact in the Islamic tradition. The text of the Qur’an in Islam, was not a cultural product, but as a revelation of God to human being in the world. Historically, Islam never surpressed to women, but it placed women in a glorious position. Meanwhile, different roles given to men and women were aimed at getting maximum benefits to the world so that they could work together and complement each other to achieve happiness in the world and the hereafter. الملخص أصبح موضوع المساواة بين الرجل والمرأة موضوع حديث حارّ بين نساء النسوية المسلمات. قد تتسائل مؤسِّسات المذهب النسوي ومؤيّدوها الشريعة الإسلامية التي – في نظرهن – لم تكن عادلة وتضع الرجل والمرأة في مستوى ومكان غير متواز ، مثل مشروعية الأذان وأداء صلاة الجمعة للرجال وعدد الغنم في العقيقة مختلف بينهما، وتكليف حضانة الأولاد ورعايتهم على النساء. حاولت هذه الدراسة – عن طريق تحليل المضمون ليس فقط دراسة نتائج من إعادة تفسير القرآن بنمط الهرمينيطيقا لدى النساء بل عرضت كذلك تاريخ إيديولوجية النسوية وعدم صحة استخدام التفسير الهرمينيطقي في هذا المجال. اعتمدت النسوية على إيديولوجية الكره والحقد كشكل معارضات على أنواع الظلم تجاه المرأة في المجتمع الغربي المسيحي في القرون الماضية. وأصل التفسير الهرمينيطقي كذلك من التقاليد الأكاديمية المسيحية المعتبرة أن الإنجيل ليس وحيا يوحي. هذان الشيئان متناقضان بما في الإسلام من أن القرآن ليس انتاجا ثقافيا بل وحي من الله. ليس في الإسلام التاريخ عن ظلم الرأة بل هو وضعها في مرتبة رفيعة. أم تفريق الدور بينهما ليس إلا ليكون كل منهما نافعا في هذه الدنيا ويتعاونان ويتكاملان للحصول على السعادتين في الدنيا والآخرة. Abstrak Kesetaraan gender merupakan diskursus yang tetap hangat diperbincangkan para feminis muslim. Penggagas dan pendukung kesetaraan gender tidak jarang mempersoalkan hukum Islam yang dianggap kurang adil dan memposisikan laki-laki dan perempuan secara berbeda seperti pembebanan adzan, shalat Jum’at, jumlah kambing saat aqi > qah di satu sisi, dan pembebanan menyusui dan merawat anak di sisi yang lain. Melalui content analysis kajian ini mencoba tidak saja untuk mengelaborasi sejumlah produk reintepretasi al-Qur’an model Hermeneutika versi kaum perempuan tetapi juga menunjukkan sejarah ideologi feminisme serta ketidaktepatan penggunaan tafsir hermeneutika. Feminisme berangkat dari ideologi kebencian sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan perempuan yang terjadi dalam peradaban Barat-Kristen di masa lalu. Metode tafsir Hermeneutika juga berasal dari tradisi akademis Kristen yang menganggap teks Bible bukan sebagai wahyu. Kedua kondisi ini berseberangan secara diametral dengan fakta dalam tradisi Islam. Teks al-Qur’an, dalam Islam, bukanlah produk budaya, melainkan wahyu. Islam tidak memiliki sejarah penindasan terhadap kaum perempuan, bahkan memposisikan perempuan dalam posisi yang mulia. Perbedaan peran yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan ditujukan agar keduanya dapat bermanfaat secara maksimal di dunia, untuk saling bekerja sama dan melengkapi demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Keywords kesetaraan, gender, perempuan, feminisme, tafsir, hermeneutik. STUDITENTANG KESETARAAN GENDER DALAM BERBAGAI ASPEK 1 Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. 2 Pendahuluan Isu-isu tentang perempuan, sekarang ini, banyak mengisi wacana di tengah-tengah masyarakat kita, di samping wacana-wacana politik dan ekonomi. Isu perempuan ini menjadi semakin menarik ketika kesadaran akan ketidakadilan di antara kedua jenis Keywords Yesus, Alkkitab, Kesetaraan Gender, Agama Kristen, Diskriminasi Abstract Tujuan dari penelitian ini adalah pemahaman kesetaraan gender dalam agama tentang kesetaraan gender, rasanya tidak tepat kalau tanpa menyinggung tentanglaki-laki, hal ini dikarenakan perempuanlah yang sering menjadi korban atau mengalamikekerasan baik dalam rumah tangga, lingkungan budaya maupun dalam lingkungan organisasidan masyarakat. Diakui bahwa paham budaya terkadang berdampak terhadap perempuandalam agama Kristen. Sikap Yesus terhadap perempuan menjadi suatu kekuatan untukmerombak diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi akibat kesalahan dalam menafsirteks-teks Alkitab Demikianulasan mengenai program inkubasi Supergirls in Tech. Selamat untuk 100 mahasiswi yang berhasil lolos seluruh tahap seleksi dan tergabung dalam program inkubasi tersebut. Semoga bisa membantu menemukan solusi untuk memecah masalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, ya!
Abstrak Peran perempuan pada masa kini bukanlah sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Tulisan ini memuat kajian tentang perempuan, feminisme, kesamaanesensial laki-laki dan perempuan, pandangan teologis tentang perempuan, dan peranannya dalam pendidikan agama Kristen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Yang bermaksud memahami suatu fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainlain, secara holistik di dalam gereja. Cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Hasil dari penelitian ini adalah perempuan yang memiliki latar belakang Pendidikan Agama Kristen dapat berperan di dalam gereja sebagai pendeta Pendidikan Agama Kristen, pengajar, diaken, anggota di dalam badan atau komisi Pendidikan Agama Kristen, dan guru Sekolah Minggu. Ilmu pengetahuan tentang Pendidikan Agama Kristen yang dimiliki oleh kaum perempuan adalah anugerah Allah, yang sudahseharusnya untuk dikembangkan dan dipraktikkan di dalam Kunci Perempuan, Pendidikan Agama Kristen Gereja To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the author.... Surya dan Maknata membahas kajian gender perempuan hanya di dalam 1 Timotius 28-12 Makanata, 2018;Surya et al., 2020. Sedangkan Kalintabu membahas tentang peranan perempuan dalam Pendidikan Agama Kristen Kalintabu, 2020. Dari keempat peneliti sebelumnya, peneliti akan merekonstruksi teologi berbias gender se-bagai respons terhadap isu kesetaraan gender sehingga Kekristenan dapat memberdayakan perempuan secara alkitabiah di dalam pelayanan gerejawi maupun di luar gereja. ...Aya SusantiAdanya ambiguitas dalam denominasi gereja tentang penahbisan pendeta perempuan menyulitkan perempuan menjadi pemimpin gereja. Ini juga mengaplikasikan standar ganda dalam penatalayanan perempuan, baik di dalam maupun di luar gereja. Studi tentang perempuan bertujuan untuk memperbaiki kerusakan dan distorsi yang ada, serta memperhatikan hal-hal yang biasanya diabaikan. Tujuan dari studi ini adalah agar kekristenan bisa memberikan konsep yang sesuai dengan Alkitab dan akurat untuk mendukung pemberdayaan perempuan. Tujuan akhirnya adalah untuk merekonstruksi teologi yang berbias gender sebagai jawaban atas isu kesetaraan gender, sehingga kekristenan bisa memberdayakan perempuan secara Alkitabiah dalam pelayanan gereja maupun di luar gereja.... Kalau kita dapat memahami ayat-ayat ini dengan baik, kita akan menemukan bahwa ayat-ayat ini memperlihatkan laki-laki dan perempuan dengan status sosial yang sama Telnoni, 2020. Kalintabu 2020 1-31. Kemudian, seorang laiki-laki bernama Yesaya yang memiliki sikap yang sangat lembut dan rendah hati Yes. ... Yunardi Kristian ZegaGender equality is still an interesting issue to be discussed today. Most people, especially those living in various regions in Indonesia, still misinterpret this. Gender equality is seen as an act that puts women first. In Christian circles, this thought is caused by Christian leaders in the past who gave teachings about gender who had unfair treatment between men and women. To provide a solution to these problems, the author uses qualitative research with the literature study method. The author finds that, gender is a characteristic that can be exchanged between each other and can be shared by both. Allah distinguishes the sexes but does not differentiate between the roles of the two. Thus, PAK plays a vital role in building gender understanding in the family and community, especially in the field of education, and in the field of education. AbstrakKesetaraan gender masih menjadi isu menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Sebagian besar masyarakat khususnya yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. Kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan menomorsatukan perempuan. Dalam lingkungan Kristen, pemikiran ini disebabkan karena adanya para tokoh Kristen di masa lalu yang memberikan ajaran tentang gender yang membuahkan perlakuan tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Untuk memberi solusi permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Penulis menemukan bahwa, gender adalah sebuah karakteristik yang dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Allah membedakan jenis kelamin manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya. Dengan demikian, PAK berperan penting untuk membangun pemahaman kesetaraan gender di dalam lingkungan keluarga, masyarakat khususnya di bidang pendidikan, dan di SantosaJovita Elizabeth AbrahamAmirrudin ZalukhuGod created male and female in His image Gen. 127. According to the image, it means that there is equality of men and women before God. In life, there are indeed differences in performing functions. The man as the husband becomes the head of the household while the wife becomes the helper. This difference aims for harmony and regularity in the order of life in the family. Recently, a feminist movement has fights for equal rights and opportunities between men and women. This movement is closely related to efforts to fight the domination, exploitation, and repression of an unfair system against women. This movement is closely related to efforts to fight the domination, exploitation, and repression of an unfair system against women. The gender equality movement tries to fight for balance, equality, and equivalence of the roles and/or responsibilities of men and women in things that are not natural, such as rights, opportunities, work relations between men and women. In the family, the wife is the co-heir of grace for a husband. The Apostle Peter warned, “Husbands, live wisely with your wives, as the weaker people! Honour them as co-heirs of the grace of life, that your prayers may not be hindered” 1 Peter 37. This study uses a descriptive qualitative method using a narrative study approach to Titus 2 MibtadinThe presence of Islamist activism in Ngargoyoso encourages the role of places of worship from places of voice of harmony to mouthpieces of intolerance. Sekar Ayu's interfaith women community counters the intolerant narrative. How did Sekar Ayu proclaim peace in Ngargoyoso? The purpose of this study is to determine the role of Sekar Ayu in building peace in Ngargoyoso. This research is a descriptive qualitative research with a sociology of religion approach. Data collection was through direct observation, in-depth interviews, and documentation. Its data analysis uses interactive analysis models including data reduction, data delivery, and conclusions. Sekar Ayu's interfaith women community as a social movement of Ngargoyoso civil society is actively developing a culture of peace. First, Sekar Ayu actively builds communication and dialogue between religious groups and advocates for humanitarian and religious issues at the lower community level based on places of worship. Second, Sekar Ayu became a space for interfaith community encounters with various activities such as places of worship and family gatherings in it with discussions about religious, social, and cultural issues as a form of life dialogue. Third, Sekar Ayu empowers interfaith women to build a mutually beneficial life between religious groups. Fourth, Sekar Ayu's activities are expected to be a dialogue of sustainable life by emphasizing an inclusive, pluralist perspective, by promoting religion as a social SetiantoThe issue of Gender does not yet have a common ground. Women are always considered weak and helpless human beings. However, in some ethnic groups in Indonesia, the opposite is true. Men are deemed to have no value to women. This study aims to examine the concept of gender equality from a biblical perspective. As the primary source of teaching authority, the Bible provides a solid picture of gender equality. The research method used is exploratory qualitative. The results of the study state that the Bible consistently discusses the principle of gender equality. Because gender equality is essential, many activists voice this principle in the struggle for human rights. Therefore, viewing humans as the noblest created beings is the basis for this struggle for gender equality. Thus, opportunities and responsibilities in all aspects of life own by all humans and created by has not been able to resolve any references for this publication.
Lebihjelasnya, berikut ini beberapa ayat Alkitab tentang feminisme. 1. Kejadian 1:27. "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.". Dari sini jelas diungkapkan bahwa pada mulanya memang Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. This article is an intellectual response to the feminists' contention that gender is a social construct, hence it can be changed and reconstructed accordingly. It argues that gender is God-given, which means that it is the natural dispositions and characters bestowed by God along with the physical appearances, which in Islamic tradition are called fiṭrah and sunnatullāh. By advocating the idea that gender is man-made and not God-given, the feminists have opened the door of confusion, reconstruction and corruption of not only the meaning of gender but also other fundamental concepts in the social system, such as qiwāmah or men leadership. Moreover, the feminists' idea of gender equality musāwāh indirectly dismissed the different natural disposition fiṭrah between men and women for a notion of equality which is assumed to be synonymous with justice. Nevertheless, the Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 33 KONSEP KESETARAAN GENDER MENURUT PERSPEKTIF ISLAM DAN BARATTHE CONCEPT OF GENDER EQUALITY IN ISLAM AND THE WEST Khalif Muammar A. Harris, Adibah Muhtar RZS-CASIS. Faculty of Social Science & Humanities. Universiti Teknologi Malaysia. 54100. Kuala Lumpur. Malaysia. Academy of Islamic Civilization. Faculty of Social Science & Humanities. Universiti Teknologi Malaysia. 54100. Kuala Lumpur. Malaysia. Email khalif DOI Abstract This article is an intellectual response to the feminists’ contention that gender is a social construct, hence it can be changed and reconstructed accordingly. It argues that gender is God-given, which means that it is the natural dispositions and characters bestowed by God along with the physical appearances, which in Islamic tradition are called fiṭrah and sunnatullāh. By advocating the idea that gender is man-made and not God-given, the feminists have opened the door of confusion, reconstruction and corruption of not only the meaning of gender but also other fundamental concepts in the social system, such as qiwāmah or men leadership. Moreover, the feminists’ idea of gender equality musāwāh indirectly dismissed the different natural disposition fiṭrah between men and women for a notion of equality which is assumed to be synonymous with justice. Nevertheless, the Kajian ini merupakan output dari Fundamental Research Grant 2018, KPM-UTM PY/2018/03814, “Pembangunan Model Pemerkasaan Wanita Malaysia Berasaskan Kerangka Konstruksi Gender Gender Construct Menurut Islam”. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 34 occurrence of misinterpretation in the works and practices of the conservative Pseudo-Salafi, which, among other things imposes niqāb and burqa on women makes the advocacy and struggle of the Muslim feminists for equality between men and women seems justified and legitimate. Contrary to Western experience, Muslim societies have already been introduced to gender justice and respect for women in a manner never known before. The dissemination of feminists’ ideas among Muslims is indeed loaded with colonial agenda and causes more confusion in the minds of Muslims. Keywords gender equality; musāwāh; qiwāmah; feminism; fiṭrah; Islamic tradition. Khulasah Artikel ini merupakan sanggahan ilmiah terhadap dakwaan golongan feminis bahawa gender adalah binaan masyarakat social construct yang ditentukan oleh manusia dan boleh berubah-ubah. Sebaliknya, ia menegaskan bahawa gender merupakan suatu ketentuan Tuhan, yakni sifat-sifat pembawaan dan kecenderungan semulajadi yang dikurniakan oleh Tuhan sama seperti sifat-sifat fizikal, yang di dalam agama Islam dikenali dengan fitrah dan sunnatullāh. Dengan meletakkan manusia sebagai penentu kepada gender dan bukannya Tuhan, feminisme bukan sahaja telah mencetuskan kecelaruan dalam faham gender bahkan membuka ruang kepada perombakan dan kerosakan makna terhadap konsep-konsep asasi lain dalam sistem sosial, seperti qiwāmah atau kepimpinan lelaki ke atas wanita. Melalui idea kesetaraan gender musāwāh, feminis menolak perbezaan fiṭrah lelaki dan perempuan demi kesamarataan yang dianggap sama dengan keadilan. Kewujudan salah tafsiran kelompok konservatif Pseudo-Salafi dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam berkaitan wanita menyebabkan kemunculan aktivis feminis Muslim yang memperjuangkan agenda pembebasan wanita dan kesetaraan gender secara mutlak mengikut Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 35 acuan Barat. Hakikatnya, berbanding Barat, masyarakat Islam sejak zaman Rasulullah telah mengenal konsep keadilan gender dan penghormatan terhadap wanita yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Justeru penyebaran idea-idea feminisme di kalangan masyarakat Islam selain membawa agenda kolonialisme juga menimbulkan lebih banyak kecelaruan pemikiran di kalangan orang Islam. Kata kunci kesetaraan gender; musāwāh; qiwāmah; feminisme; fiṭrah; tradisi Islam. Pengenalan Agama Islam dan Kristian bersepakat bahawa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT di syurga, sebelum diturunkan ke Bumi. Bahkan kedua sumber suci Islam dan Kristian juga menyebut tentang penciptaan Hawa daripada Adam. Meskipun Bible ada menyebut bahawa Hawa Eve diciptakan daripada tulang rusuk,dan cerita yang sama ada disebutkan dalam sebuah hadith, namun para ulama’ berpendapat bahawa perkataan daripada tulang rusuk min ḍilʻ tidak harus difahami secara harfiah akan tetapi perlu difahami secara kiasan atau majāzī metaphorical, iaitu bahawa wanita diciptakan seperti Sila lihat Bible, Kejadian, 220-25, Hadith Rasulullah yang bermaksud “Nasihatilah para wanita dengan baik, kerana wanita diciptakan daripada tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok daripada tulang rusuk itu adalah pangkalnya, jika kamu cuba untuk meluruskannya maka ia akan patah, namun bilamana kamu biarkan ia maka ia akan tetap bengkok, untuk itu, nasihatilah para wanita dengan baik”, hadith riwayat al-Bukhari, no. 3331, Muslim Hadith no. 3632. Lihat huraian al-Nawawi dan Ibn Hajar tentang hadith ini berbeza dengan tafsiran harfiah yang dikemukakan oleh Ibn Kathir. Al-Nawawi, Sharḥ Ṣaḥīh Muslim Beirut Dar al-Marifah, 1998, 10299; Ibn Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Riyadh Dar al-Salam, 6444. Untuk perbahasan lanjut tentang hadith ini sila lihat makalah penulis, “Wacana Kesetaraan Gender Islamis versus Feminis Muslim” dalam Atas Nama Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 36 tulang rusuk yang bengkok sehingga menuntut kebijaksanaan kaum lelaki agar hakikat wanita yang berlainan tabi’inya itu dapat ditangani dengan lemah lembut dan berhemah kerana tindakan yang kasar dan memaksa boleh menyebabkan kaum wanita patah dan tidak dapat diperbetulkan lagi. Lebih dari itu, suatu hal yang tidak diterangkan dalam agama Kristian, al-Qur’an juga menjelaskan bahawa lelaki dan wanita diciptakan daripada satu jiwa min nafsin wāḥidah. Mereka umpama dua sisi dari duit syiling yang sama. Ini memberi isyarat bahawa keduanya memerlukan satu sama lain, diciptakan berpasangan, agar mereka dapat membina rumahtangga dan meninggalkan zuriat. Pemeliharaan nasab keturunan, oleh kerana itu, menjadi objektif Syari’ah maqāṣid al-sharīʻah, sesuatu yang tidak dapat dipelihara jika perkahwinan sesama jenis dibenarkan dan dibiarkan berleluasa. Penciptaan manusia diterangkan dengan terperinci di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan bahawa manusia diciptakan mengikut fitrah yang ditetapkan oleh Allah. Di antara fitrah manusia adalah kemampuan akliah untuk berfikir tentang Tuhan, kemampuan untuk mengetahui baik, buruk, benar dan salah, kemampuan untuk Kebenaran Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal Bangi ATMA, 2009, 183. Dalam surah al-Nisa’ ayat 1 Allah berfirman yang maksudnya “Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu bermula dari diri yang satu jiwa, dan yang menjadikan daripada jiwa itu pasangannya isterinya - Hawa, dan juga yang membiakkan dari keduanya - zuriat keturunan - lelaki dan perempuan yang ramai.” Lihat juga surah al-Arāf 189; al-Zumar 6. “Setelah jelas kesesatan syirik itu maka hadapkanlah dirimu engkau dan pengikut-pengikutmu, wahai Muhammad ke arah ugama yang jauh dari kesesatan; turutlah terus fitrah ugama Allah, iaitu fitrah yang Allah menciptakan manusia dengan keadaan bersedia dari semulajadinya untuk menerimanya; tidaklah patut ada sebarang perubahan pada ciptaan Allah itu; itulah ugama yang betul lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” Surah al-Rūm 30. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 37 menghargai dan mencintai kebenaran, keadilan dan keindahan, sehingga tindakan manusia yang memilih tunduk dan patuh kepada perintah Allah, beribadah hanya kepadaNya, merupakan tindakan yang sesuai dengan fitrah dan hakikat dirinya, dan mencapai kebahagiaan dengannya. Dengan fitrah istimewa yang diberikan kepada manusia, fitrah untuk mengenal dan menghambakan diri kepada Tuhan, manusia mempunyai peranan yang telah ditentukan sejak sebelum kewujudannya di muka bumi, iaitu sebagai Khalifah agar manusia tahu siapa dirinya, mengapa dan untuk apa ia diciptakan Allah SWT mengutus para nabi untuk menyampaikan kebenaran daripada Tuhan Pencipta. Bertentangan dengan falsafah eksistentialismeyang menegaskan bahawa existence precedes essence’ kewujudan mendahului esensi, kita dapat memastikan bahawa dalam Islam yang berlaku adalah sebaliknya iaitu essence precedes existence,’ bahawa esensi manusia telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan sebelum manusia diciptakan. Ini bermakna bahawa hakikat manusia bukan ditentukan oleh manusia sendiri setelah hidup di bumi, sebagaimana dinyatakan oleh falsafah eksistensialisme, melainkan telah ditentukan oleh Allah sejak azali, sebelum diciptakannya Adam. Penciptaan manusia dan alam ini, mengikut konsep waḥdat al-wujūd, adalah suatu bentuk manifestasi kebesaran Asma dan Sifat Allah SWT. Ini kerana, orang yang mentawhidkan Allah dengan sebenar-benarnya adalah orang yang melihat bahawa yang wujud secara hakiki hanyalah Allah dan PerbuatanNya. Lihat sebagai contoh Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, terjemahan dan pengenalan oleh Philip Mairet London Methuen, 1948, 28. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, “Iljām al-Awām an Ilm al-Kalām,” dalam Majmūʻat Rasā’il al-Imām al-Ghazālī Kaherah Maktabah al- Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 38 diatur sedemikian rupa, segalanya diciptakan dan diletakkan mengikut qaḍā’ dan qadarNya, mengikut suatu aturan dan susunan yang disebut sebagai sunnatullāh, sehingga membentuk hirarki susunan semua makhluk dan termasuk di dalamnya hirarki dalam susunan manusia hierarchy in the human order, yang dengan susunan ini maka terjelmalah keadilan Tuhan, dan manusia umpama alam kecil mikrokosmos yang mengandungi rahsia alam besar yang memenuhi jagat raya. Dalam pandangan alam Islam, tiada sesuatu yang berlaku di dunia ini melainkan atas kehendak dan perintah Allah SWT, dan mengikut aturan dan sunnah yang telah ditentukan olehNya. Oleh yang demikian, kejadian manusia, lelaki ataupun perempuan, miskin mahupun kaya, pintar mahupun bodoh, demikian juga segala apa yang berlaku di dunia, turunnya hujan, terbit dan tenggelamnya matahari, gempa bumi, banjir dan taufan, perkara yang baik mahupun yang buruk adalah ketentuan, qaḍā’ dan qadar, ataupun taqdir Allah SWT. Meskipun manusia berusaha sedaya upaya untuk mengelakkan perkara buruk daripada berlaku namun jika telah menjadi suratan taqdir maka kehendak Allah akan mengatasi kehendak manusia. Apa yang tercatat di lauḥ maḥfūẓ akan berlaku meskipun manusia tidak menginginkannya dan berusaha untuk menghalangnya. Oleh kerana itu, seseorang itu kekal lelaki meskipun ia ingin menjadi perempuan, dan seseorang itu kekal perempuan meskipun ia ingin menjadi lelaki. Perubahan apapun yang dilakukan terhadap dirinya hanya merupakan perubahan luaran, hakikat diri dan identitinya tetap tidak berubah. Justeru dengan melakukan perubahan pada dirinya yang tidak sesuai dengan identiti dan fitrahnya itu Tawfiqiyyah, 337; al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Lihat al-Attas, Islam and Secularism Kuala Lumpur ISTAC, 1993, 107-8. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 39 maka ia telah menentang kehendak Allah dan melakukan kerosakan pada dirinya sendiri. Kerosakan yang dilakukan oleh manusia terhadap dirinya dan terhadap alam sekitar hanya akan menimbulkan lebih banyak kesengsaraan dalam kehidupan. Fitrah yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada manusia memberikan mereka jalan untuk melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya dan persekitarannya. Dengan mengikuti fitrahnya manusia dapat berfungsi dengan baik sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan kerananya mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat. Lelaki diberikan fitrah untuk memimpin keluarga dan mencari nafkah, manakala perempuan diberikan fitrah untuk mengandungkan dan membesarkan anak. Apabila kedua pihak, suami dan isteri menuruti fitrah kejadian masing-masing maka berlaku keharmonian dan kebahagiaan. Fitrah lelaki dan perempuan yang digambarkan di atas adalah benar apabila secara jujur diperhatikan sifat dan kecenderungan lelaki dan perempuan yang secara tabi’i memilikinya tanpa mengira bangsa, kaum, latarbelakang, dan bukannya dikondisikan oleh masyarakat seperti mana yang didakwa oleh golongan feminis. Malahan, sifat sedemikian wujud pada bangsa yang tidak bertamadun dan tidak beragama sekalipun. Maka sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal bahawa lelaki di seluruh dunia bersepakat untuk mencipta sifat-sifat di atas dengan tujuan untuk menindas kaum perempuan. Kekeliruan Golongan Feminis Muslim Gerakan feminisme pada umumnya merupakan suatu perjuangan bagi memerdekakan dan membebaskan kaum wanita daripada penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Gerakan ini memainkan peranan yang penting di Eropah dan di Barat umumnya kerana dengan perjuangan golongan feminis ini, kaum Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 40 wanita di Barat telah dapat mengecapi kemerdekaan dan kesamarataan yang sebelumnya dinafikan. Penulis Inggeris, Mary Astell 1666-1731 mengungkapkan kemarahannya berkenaan ketidakadilan yang berlaku dengan katanya “If men are born free, how is it that all women are born slave?” Terjemahan “Jika lelaki dilahirkan merdeka, mengapa semua perempuan dilahirkan sebagai hamba?” Ia sesuatu yang sebenarnya menggambarkan keadaan ketika itu di Eropah dan bukan di serata dunia, dan pastinya bukan di dunia Islam. Di Eropah, perempuan tidak memiliki hak pemilikan harta sebagaimana lelaki, hak perundangan untuk perempuan yang dizalimi sangat terbatas manakala universiti di Eropah tidak membenarkan perempuan mendapatkan pendidikan. Keadaan bertambah parah apabila kalangan ahli falsafah Barat sehingga zaman pencerahan, seperti Immanuel Kant 1724-1804 dan Jean Jacques Rousseau 1712-1778, mendokong diskriminasi dan merendahkan martabat ketika Maria Theresa di Austria memerintah 1740-1780 dan Catherine the Great di Rusia memerintah 1762-1796 menjadi ratu maka masyarakat Barat baru membuka mata terhadap keupayaan kaum wanita. Walau bagaimanapun kaum wanita di Barat perlu berjuang habis-habisan untuk mendapatkan hak mereka Mary Astell, Political Writings, ed. Patricia Springborg Cambridge Cambridge University Press, 1996, 18. Lihat juga bukunya Some Reflection upon Marriage yang menganggap perkahwinan sebagai satu bentuk perhambaan slavery. Mary Astell, Some Reflection upon Marriage London John Nutt, 1700 . Rousseau sebagai contoh menganggap pendidikan wanita hanya perlu sebagai persiapan bagi berkhidmat kepada lelaki. Lihat Julie; or, The New Heloise 1761 dan Emile; or, Education 1762. Lihat W. M. Spellman, A Short History of Western Political Thought London Palgrave-Macmillan, 2011, 106. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 41 yang dinafikan. Pada tahun 1789 ketika revolusi Perancis, terdapat tuntutan Petition of Women of the Third Estate to the King,’ yang menuntut hak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Tuntutan mereka malah mendapat tanggapan negatif daripada National Assembly yang menetapkan bahawa wanita perlu menjadi warganegara yang pasif, dan tidak layak untuk mengambil bahagian dalam pilihan raya. Pada tahun 1792, Mary Wollstonecraft 1759-1797 menulis buku A Vindication of the Rights of Woman yang menyatakan bahawa kemampuan intelektual wanita yang dikatakan lemah itu adalah natijah daripada pendidikan yang tidak adil dan nilai-nilai masyarakat yang tidak menuntut agar wanita muncul sebagai manusia yang rasional dan berdikari, yang hanya berlaku dengan memperbaiki pandangan diri sendiri untuk lebih dihormati. Usaha beliau ini diremehkan oleh ramai orang ketika itu. Apa yang berlaku di Eropah pada abad pertengahan sebenarnya berakar pada falsafah Hellenistik yang sememangnya memandang rendah kepada perempuan. Sejak zaman Aristotle telah berlaku diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Aristotle 322BC akal wanita lemah, tidak mampu berfikir dengan waras dan rasional oleh kerananya wanita perlu dipimpin oleh lelaki. Hellenisasi Barat, termasuk Hellenisasi Kristian, meneruskan dasar diskriminasi dan penindasan terhadap wanita. Pada hari ini golongan feminis umumnya bersepakat bahawa gender lelaki dan perempuan merupakan binaan masyarakat social construct. Ia terhasil daripada harapan masyarakat social expectation dan cara seseorang itu dibesarkan. Simone de Beauvoir 1908-1986 adalah antara feminis pertama yang menegaskan hal ini apabila berkata Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman Dublin J. Stockdale, 1793, 19. Menurut Aristotle lagi, “women exist as natural deformities or imperfect males”. Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker Oxford Clarendon Press, 1948, 1254b, 13-16. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 42 “one is not born, but rather becomes woman”, dan “social discrimination produces in women moral and intellectual effects so profound that they appear to be caused by nature”. Jika perbezaan jantina biological sex dianggap sesuatu yang datang semula jadi oleh kerananya tidak dapat diubah, perbezaan gender pula, bagi mereka, adalah sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat dan oleh kerananya tidak mesti diterima. Di dunia Islam, tokoh-tokoh modenis adalah golongan yang memperkenalkan idea kesetaraan gender yang berasal daripada Barat. Muhammad Abduh 1849-1905, ketika mentafsirkan ayat 238 daripada surah al-Baqarah, menegaskan “Ini adalah kaedah umum yang menjelaskan bahawa perempuan adalah sama dengan lelaki dalam semua hak. Kerana itu lelaki dan perempuan serupa pada zat, perasaan, dan akal”. Namun Abduh juga mengakui apabila berlaku perbezaan pendapat maka pandangan lelaki perlu kesetaraan gender ini kemudian dilanjutkan oleh Qasim Amin 1863-1908, seorang modenis dan sahabat Muhammad Abduh. Di dalam Taḥrīr al-Mar’ah 1899, beliau mengatakan bahawa perempuan dan lelaki sebenarnya adalah sama dari segi kekuatan fizikal, yang menjadikan mereka berbeza adalah kerana perempuan tidak menggunakan potensi jasad dan akal mereka secara optimum. Kerana itu menurut Qasim Amin, perempuan perlu membebaskan diri mereka daripada segala kongkongan yang membelenggu dirinya, termasuklah Simone de Beauvoir, The Second Sex New York Vintage Books, 2011 [original 1949], 283, 14; Alison Stone, An Introduction to Feminist Philosophy Cambridge Polity Press, 2007, 2. Lihat Muhammad Imarah, al-Islām wa al-Mar’ah fi Ra’y al-Imām Muḥammad Abduh Kaherah Nahdat Misr, 2007, 23. Lihat juga keterangan Ignaz Goldziher yang mengetengahkan metodologi pentafsiran modenis Muhammad Abduh dalam Madhāhib al-Tafsīr al-Islāmī, terj. Abd al-Halim Najjar Kaherah Maktabah al-Khanji,1955, 350-395. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 43 hijab. Hijab yang dipaksakan ke atas wanita, menurut beliau, hanya menghalang wanita dan masyarakat Islam daripada kemajuan dan pendidikan wanita hanya sempurna apabila mereka membuang sebagai seorang modenis, mempunyai kepercayaan yang mendalam terhadap idea-idea Barat. Beliau tidak sedar bahawa apa yang dilakukannya boleh membawa natijah yang buruk kepada masyarakat Islam. Dengan tujuan islah, beliau tanpa segan silu mencanangkan idea-idea Barat. Qasim melihat masyarakat Barat, khususnya bangsa Anglo-saxon sebagai model mengapa muncul penulis Muslim yang memperbesarkan persoalan hijab? Mengapa tumpuan diberikan kepada kedudukan perempuan dalam masyarakat Islam? Apakah ada agenda di sebalik pembebasan perempuan? Sememangnya wujud agenda kolonialisme di sebalik wacana pembebasan wanita. Ia sebagaimana diterangkan oleh Katherine Bullock, orientalis dan penulis Barat yang melihat bahawa penjajahan terhadap bangsa lain merupakan misi pentamadunan. Menurut Bullock penghapusan hijab dilihat oleh Barat sebagai bahagian penting dalam misi pentamadunan Barat. Qasim Amin, Taḥrīr al-Mar’ah, Kaherah Nawabigh al-Fikr, pada muka surat 62 dan 63 beliau mengatakan     . Katherine Bullock, Rethinking Muslim Women and the Veil Virginia IIIT, 2010, 25. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 44 Evelyn Baring, First Earl of Cromer 1841-1917, yang memerintah Mesir pada abad ke-19, berkata “The position of women in Egypt is a fatal obstacle to the attainment of that elevation of thought and character which should accompany the introduction of European civilisation”. Beliau juga menegaskan bahawa cabaran bagi orang Barat yang sebenarnya adalah untuk mengangkat martabat wanita di dunia Islam “To graft true civilisation on a society which is but just emerging from barbarism...not only to educate but to elevate the women, he will never succeed in affording to the man, in any thorough degree, the only education which is worthy of Europe”. Maka dapat disimpulkan bahawa misi pembebasan wanita sebenarnya bukanlah idea asli daripada penulis-penulis Muslim, tetapi datang daripada penulis Barat yang sekaligus pemerintah kolonial mereka, yang sudah tentunya membawa agenda kolonialisme. Hal ini dapat dilihat daripada kata-kata Cromer sendiri “The new generation of Egyptians has to be persuaded or forced into imbibing the true spirit of Western civilisation”. Pernyataan Cromer ini disahkan juga oleh seorang pegawai tentera Perancis yang menulis pada tahun 1846 “When we have them in our hands, we will then be able to do many things which are quite impossible for us today and which will perhaps Evelyn Baring, First Earl of Cromer, Modern Egypt, 2 vols. London Macmillan, 1908, 2538. Seperti dikutip oleh Mitchell, Colonising Egypt, 95. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 45 allow us to capture their minds after we have captured their bodies”. Selanjutnya wacana kesetaraan gender ini juga mendapat perhatian Fazlur Rahman 1919-1988. Dalam bukunya Major Themes of the Qur’an, beliau mengatakan bahawa lelaki dan wanita adalah setara, iaitu suami tidak lebih berkuasa ke atas feminis pada umumnya tidak menerima ayat al-Qur’an yang menegaskan kepimpinan lelaki dalam rumahtangga. Mereka lebih cenderung untuk menterjemahkan qawwāmūn sebagai pencari nafkah breadwinners.Istilah breadwinner ini bermasalah kerana ia telah menyempitkan peranan suami kepada fungsi ekonomi. Perlu ditegaskan bahawa perkataan qawwām tidak terhad kepada pemberian nafkah, sebagaimana akan dijelaskan di bawah, lelaki menjadi pemimpin bukan hanya kerana lelaki memberi nafkah, tetapi kerana lelaki diberi amanah dan tanggungjawab untuk memastikan rumahtangga termasuk isterinya, dijaga dan dipelihara dengan baik mengikut kehendak Allah. Maka ketika isteri tidak memerlukan nafkah material lelaki, tidak bermakna isteri tidak perlu taat pada suami. Di sini jelas bahawa Fazlur Rahman telah melakukan kesilapan apabila mengatakan bahawa ketika seorang isteri berhasil mandiri dan memberi sumbangan kepada rumahtangga maka kuasa suami keatasnya berkurangan “Wife’s economic self-sufficiency…and contribution to the household reduces the husband’s superiority, since as a human, he has no superiority over his wife.” Tokoh feminis sekular seperti Fatima Mernissi berpandangan bahawa hijab merupakan hasil kesepakatan Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980, 48. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 46 masyarakat, social construct, dan merupakan cerminan penguasaan golongan lelaki terhadap wanita. Dalam bukunya Beyond the Veil 1975, Fatima Mernissi mengatakan bahawa hijab adalah simbol penindasan ke atas kaum wanita the veil as a tool and symbol of oppression and subservience. Dalam bukunya yang lain, The Veil and the Male Elite, beliau mengatakan bahawa kewajipan hijab bukan daripada Nabi, tetapi merupakan pandangan para sahabat yang memiliki sifat membenci kaum wanita misogynists yang tidak ingin wanita menjadi pemimpin masyarakat. Malah amalan hijab menurutnya adalah tradisi Arab jahiliyyah. Sebagaimana Qasim Amin, beliau membuat kesimpulan bahawa pembebasan wanita Islam tidak akan berlaku tanpa penolakan terhadap hijab. Pandangan sekular terhadap hukum Islam juga terlihat dalam wacana yang diketengahkan oleh Amina Wadud. Di dalam bukunya Qur’an and Woman 1992, Wadud melihat bahawa wanita dalam Islam tertindas, dianggap sebagai manusia yang bertaraf rendah inferior, secara tabi’inya jahat, memiliki tahap intelektual yang rendah dan lemah beragama. Semua pandangan negatif terhadap perempuan ini berpunca daripada tafsiran terhadap al-Qur’an yang dikuasai oleh kaum lelaki. Oleh kerana itu al-Qur’an perlu ditafsirkan semula daripada perspektif wanita, dengan mengikut kaedah hermeneutik. Beliau turut menyanggah adanya hirarki dalam Islam. Fatima Mernissi, Beyond the Veil London Al Saqi Books, 1985, 82. Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elite A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam New York Basic Book, 1991, 81. Amina Wadud menjelaskan “we are the makers of textual meaning. The result of our meaning-making is the reality we establish from those meaning to human experience and social justice. We need to make the text mean more for women’s full human dignity than it has been conceived to do or applied toward at any other time in Muslim history”. Amina Wadud, Inside the Gender Jihad Oxford Oneworld Publication, 2006, 204. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 47 Wadud menegaskan bahawa lelaki dan wanita perlu dilihat sama rata equal “Women are equal to men, they have the same rights and obligations on the ethico-religious level and have equally significant responsibilities on the social functional level”. Kerana itu beliau menolak konsep lelaki sebagai ketua rumah tangga qawāmah, perempuan tidak boleh menjadi imam solat berjama’ah dan lain-lain lagi. Baginya para ulama’ yang mentafsirkan al-Qur’an sepanjang sejarah telah bertindak bias, berat sebelah dan mengamalkan budaya patriarki dalam merumuskan hukum pada hakikatnya Islam sebagai agama yang disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah tidak pernah menindas kaum wanita, namun demikian amalan sesetengah masyarakat Islam yang cenderung merendahkan dan mendiskriminasikan kaum wanita telah sedikit sebanyak memburukkan imej Islam. Wujudnya penindasan’ ini telah menyebabkan kemunculan kelompok feminis Muslim seperti Fatima Mernissi yang memperjuangkan agenda pembebasan wanita, dan mereka melihat bahawa hijab, dengan pentafsiran yang melampau itu, adalah simbol penindasan terhadap kaum wanita. Sanggahan Fatima Mernissi terhadap hijab timbul akibat kekeliruan tentang perbezaan hijab sebagai suatu konsep dengan niqāb, purdah, burqa yang merupakan suatu tafsiran kepada hijab. Terdapat ulama’ khususnya dari kalangan Pseudo-Salafi yang menegaskan kewajipan purdah, niqāb atau abaya. Pemaksaan pemakaian purdah Amina Wadud, Qur’an and Woman Kuala Lumpur Fajar Bakti, 1992, 102. Lihat Amina Wadud, Qur’an and Woman, 2; lihat juga Ziba Mir-Hosseini, Islam and Gender The Religious Debate in Contemporary Iran New York Princeton University Press, 1999. Mengenai kewajipan niqāb, pakaian yang menutup muka dan tangan, lihat fatwa Ibn Taymiyyah, Hijāb al-Mar’ah wa Libāsuha fi al-Salāh Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 48 terhadap wanita menjustifikasikan gerakan feminisme untuk membebaskan wanita daripada penindasan kaum lelaki. Sebenarnya tiada dalil yang mewajibkan purdah, niqāb, burqa atau abaya ke atas wanita. Yang ada hanyalah kewajipan menutup aurat yang dengannya seseorang wanita dianggap telah berhijab. Majoriti ulama berpendapat bahawa menutup muka dan tangan bukanlah suatu kewajipan kerana terdapat dalil yang menunjukkan bahawa tangan dan muka bukan aurat wanita. Nabi sendiri tidak pernah mewajibkan wanita untuk menutup muka dan sebahagian orang Islam, termasuk yang digelar sebagai ulama’, telah menyebabkan Islam ikut terpalit dengan penindasan dan diskriminasi. Walaupun sebenarnya majoriti ulama’ tidak mewajibkan purdah, tetapi pandangan minoriti inilah yang diketengahkan untuk memberikan imej yang buruk terhadap Islam. Kelompok Pseudo-Salafi tidak sedar bahawa dengan mewajibkan purdah dan abaya, mereka telah meletakkan tanggungjawab menjaga kehormatan terhadap kaum wanita sahaja, walhal al-Qur’an menyuruh lelaki juga untuk menjaga kehormatan kaum wanita dengan menundukkan pandangan. Seseorang itu tidak perlu menundukkan pandangan jika tiada apa yang ingin dilihat. Justeru oleh kerana adanya keinginan untuk melihat lalu ia berupaya menahannya demi Riyadh Maktabah al-Maarif, Ibn Baz, Risālah Tabhath fi Masā’il al-Hijāb wa al-Sufur Madinah al-Jamiah a-Islamiyyah, Salih bin Uthaymin, Risālat al-Hijāb Madinah al-Jamiah a-Islamiyyah, 12-13. Pandangan yang berbeza dikemukakan oleh Nasir al-Din al-Albani sendiri, lihat Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah Beirut Dar al-Salam, 2002. Perbahasan tentang kewajipan niqāb boleh dirujuk di pautan berikut Nuruddeen Lemu, Is the Niqab Wajib for All Muslim Women? Lihat al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh Beirut Dar al-Fikr,1994, 42651-2. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 49 menjaga kehormatan orang yang dilihat dan memelihara diri sendiri. Maka, di sinilah letaknya tujuan dan hikmah disebalik suruhan menundukkan pandangan. Tanpanya tiada kewajaran pada suruhan tersebut. Tugas menjaga kehormatan perlu diletakkan kepada kedua belah pihak dan bukan hanya kepada satu pihak sahaja. Inilah keadilan Islam yang perlu diserlahkan dan tidak boleh dicemarkan dengan pandangan-pandangan yang tidak mencerminkan keadilan dan keindahan Islam. Apabila terbukti bahawa amalan penindasan yang dilakukan terhadap wanita oleh golongan konservatif Pseudo-Salafi hanyalah pentafsiran keliru mereka sendiri terhadap Islam dan ia sebenarnya bukanlah tafsiran yang sah terhadap Islam, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi golongan feminis untuk merombak dan mentafsirkan semula Islam untuk disesuaikan dengan idealisme feminisme. Kedua-dua pendekatan konservatif dan feminis liberal adalah ekstrim, sedangkan kefahaman Islam yang dikemukakan oleh para ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah kefahaman yang adil, pertengahan serta jauh daripada ekstrimisme. Pendekatan Sunni ini bercirikan pertengahanwasatiyyah, di mana terdapat perkara-perkara yang thawābit kekal tidak berubah dan perkara-perkara yang mutaghayyirāt dinamik dan sentiasa berubah. Dengan wujudnya pergerakan teguh dynamic-stabilismini maka masyarakat Islam yang berpegang kepada pendekatan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini tidak hanyut sebagaimana kaum liberal dan tidak jumud sebagaimana kaum konservatif dan radikal. Lihat penerangan tentang istilah dynamic-stabilism ini oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization Johor Bahru Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, 2013, 20. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 50 Apabila tiada penindasan terhadap wanita di dalam Islam maka tiada kewajaran bagi kewujudan feminisme dalam Islam. Adapun wujudnya penindasan, ketidakadilan dan diskriminasi terhadap wanita dalam masyarakat Islam, ia bukanlah sesuatu yang unik dalam masyarakat Islam. Setiap masyarakat yang mundur menghadapi masalah ketidakadilan. Ketidakadilan yang berlaku dalam masyarakat Islam tidak bersangkut paut dengan agama Islam, kerana apabila ditelusuri secara mendalam ia adalah masalah kondisi manusia yang tidak beretika. Masyarakat Islam mengalami kemunduran dari pelbagai segi sama ada moral, rohani, aqli, pendidikan, ekonomi dan politik. Oleh kerana itu ketidakadilan berlaku dalam masyarakat. Ia bukan hanya berlaku terhadap wanita malah terhadap kanak-kanak, orang tua, orang miskin, bahkan semua kelompok yang lemah. Dengan memahami konteks masalah ini maka kita dapat melihat feminisme bukanlah jawapan kepada masalah ketidakadilan yang berlaku ke atas kaum wanita. Justeru kewujudan mereka dalam masyarakat Islam hanya menimbulkan lebih banyak masalah dari segi akidah dan pemikiran di kalangan orang Islam. Jika perempuan mengalami penindasan di Barat, apa yang berlaku di dunia Islam adalah sebaliknya. Diskriminasi dan ketidakadilan tidak pernah menjadi masalah besar dalam masyarakat Islam. Justeru, Islam telah menjamin kebebasan individu, dan kemuliaan setiap insan, termasuk wanita dan hamba sahaya. Islam mewajibkan lelaki dan perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan sejak zaman Rasulullah telah muncul cendekiawan wanita, seperti A’ishah 613-678, Umm Salamah 596-683 dan Hafsah 605-665, yang mengajarkan agama kepada kaum wanita khususnya. Hadith Rasulullah “Menuntut ilmu adalah kewajipan ke atas setiap Muslim lelaki dan perempuan” Hadith riwayat Ibn Majah no 224. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 51 Bahkan terdapat masjid yang ditubuhkan oleh seorang wanita, iaitu Fatimah al-Fihriyyah 800-880. Masjid dan universiti ini kini dikenali sebagai universiti tertua di dunia yang masih wujud sehingga ke hari ini, iaitu Universiti Qarawiyyin di Fez, Maghribi. Di zaman Sayyidina Umar pula wanita telah memainkan peranan yang besar dalam aspek sosial dan ekonomi apabila al-Shifa’ binti Abd Allah, sahabat Nabi di kalangan wanita, telah dilantik oleh Khalifah Umar sebagai pegawai Hisbah di pasar, setaraf menteri perdagangan pada masa abad ke-17 di alam Melayu terdapat ratu yang memerintah kerajaan Aceh Islam meletakkan peranan lelaki dan perempuan berbeza. Rasulullah melarang wanita daripada berperang tetapi hanya dibenarkan untuk membantu dan merawat di belakang medan perang. Ketika baginda ditanya mengenai perbezaan ini maka turun ayat yang menjelaskan agar kaum perempuan tidak mempersoalkan perbezaan peranan ini, kerana masing-masing memiliki tanggungjawab yang dan Gender Sebagaimana hakikat dan fitrah manusia telah ditentukan oleh Allah SWT sebelum manusia diciptakan, demikian pula sifat gender lelaki dan perempuan. Sifat gender dan peranan keduanya telah ditentukan sejak sebelum mereka lahir di dunia. Manusia diciptakan berbeza bukan sahaja dari segi biologi, memiliki jantina dan fisiologi yang berbeza, tetapi mereka diciptakan dengan fungsi sosial Beliau adalah al-Shifa’ binti Abd Allah bin Shams al-Adawiyyah, seorang yang pintar membaca dan menulis, dan guru kaligrafi di zaman Rasulullah. Lihat Ahmad bin Ali al-Maqrizi, Imtāʻ al-Asmāʻ Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999, 9395. Untuk biografi beliau, lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, al-Iṣābah fi Tamyīz al-Ṣaḥābah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995,7728. Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jakarta KPG, Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2008, 254. Lihat surah al-Nisa’, 32. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 52 yang berbeza kerana memiliki sifat, kecenderungan, keinginan, dan peranan yang berbeza. Oleh kerana lelaki dan perempuan memiliki fitrah yang berbeza, maka Islam menetapkan bahawa lelaki dan perempuan memiliki peranan yang berbeza, dan peranan ini telah ditetapkan oleh Allah dan menjadi sebahagian daripada Syari’ah yang tidak berubah mengikut peredaran zaman. Perkataan fitrah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata faṭara yang bermaksud mencipta ibtadaʻa daripada sesuatu yang tidak ada. Kerana itu di dalam al-Qur’an, Allah SWT disebut sebagai Fāṭir yakni Pencipta yang para ulama’ ahli Bahasa, fiṭrah bermaksud asal kejadian khilqah manusia, yang selalu disebut sebagai sifat-sifat semula jadi natural disposition. Merujuk kepada ayat al-Qur’an, “fiṭratallāh allati faṭara al-nāsa alayhā,” dan hadith “Kullu mawlūdin yūladu ala al-fiṭrah,” al-Zamakhshari dalam Asās al-Balāghah menambahkan bahawa fitrah di sini merujuk kepada perwatakan yang cenderung kepada agama yang benar al-jibillah al-qābilah li dīn al-ḥaq.Demikian juga al-Raghib al-Asfahani dan al-Zabidi berkata bahawa fiṭrah adalah penciptaan Allah SWT dalam diri manusia yang menjadikannya bersedia untuk melakukan sesuatu. Beliau juga menguatkan pendapatnya ini dengan ayat 25 surah Luqman yang menjelaskan bahawa pada dasarnya kaum musyrikin pun tahu bahawa Pencipta alam semesta adalah Allah surah Fāṭir, 1 “Segala puji tertentu bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan malaikat utusan-utusan yang bersayap dua, tiga dan empat; Ia menambah pada bentuk kejadian makhluk yang diciptakanNya apa jua yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Muhammad bin Umar al-Zamakhshari, Asās al-Balāghah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998, 228. Al-Raghib al-Asfahani, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān Damshiq Dar al-Qalam, 2011, 640; Muhammad Murtada al-Zabidi, Tāj al-ʻArūs Beirut Dar Sadir, 2011 8178. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 53 Bagi seorang mu’min, sifat Qudrah dan Iradah Allah SWT adalah mutlak sedangkan kuasa dan keinginan manusia hanyalah berlaku dengan izinNya. Disebut sebagai fiṭrah kerana sesuatu yang diciptakan itu mengikut acuan yang diinginkan oleh penciptaNya. Maka apabila sesuatu ciptaan tidak mengikuti sifat kejadiannya yang diingini oleh Penciptanya ia boleh dianggap suatu keingkaran. Sesuatu yang mengikut fitrahnya pula disebut sebagai tabi'i, natural. Tabi’i daripada perkataan Arab, ṭabaʻa bermaksud mencetak, menjadikan sesuatu dengan rupa tertentu yang kekal. Al-Jurjani ketika merujuk kepada manusia dan perkataan al-ṭabʻ, menurutnya bermaksud apa yang terbit daripada manusia tanpa al-Asfahani menyebut bahawa al-ṭabʻ adalah kecenderungan yang diciptakan oleh Allah dalam diri manusia. Alam tabi’i ʻālam al-ṭabīʻah merujuk kepada alam yang mengikut acuan dan kehendak Allah SWT. Kerana itu alam ini merupakan cetakan ṣibgah Allah, di mana jelas terdapat kesan atau bekas impression, yang menunjukkan keagungan dan kebijaksanaan Penciptanya. Maka dapat disimpulkan bahawa mengikut pandangan alam Islam, segala ciptaan Tuhan secara tabi’inya mengikut kehendak, keinginan dan acuan Tuhan sunnatullāh. Rekaan ini adalah yang terbaik dan sempurna kerana dibuat dengan ilmu dan kebijaksanaan yang tiada tara, kerana itu ia tidak akan pernah rekaanNya adalah bahawa kaum lelaki mempunyai sifat, perwatakan dan keupayaan yang berbeza daripada kaum perempuan. Kedua-dua gender dan jantina adalah ciptaan dan ketentuan Allah. Al-Jurjani, Kitāb al-Taʻrīfāt, ed. Muhammad Siddiq al-Minshawi Kaherah Dar al-Fadilah, 119. Adapun tabiah menurut beliau adalah kekuatan yang berada dalam jisim dengannya sesuatu itu dapat mencapai kesempurnaannya yang tabi’i. Al-Qur’an surah al-Aḥzāb 38. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 54 Gender adalah sifat pembawaan dan kecenderungan semulajadi kurniaan Tuhan yang berbeza mengikut jantina. Seorang lelaki, sebagai contoh, sukakan perempuan. Perasaan suka ini berlaku secara tabi'i atau natural. Sebaliknya apabila seorang lelaki sukakan lelaki maka ia adalah sesuatu yang dianggap luar tabi'i. Kita dapat melihat bahawa perwatakan yang berbeza antara lelaki dan perempuan berlaku ketika kecil, seumur 2-3 tahun lagi, di mana anak lelaki pada umumnya akan menyukai harimau atau singa sebagai binatang kesukaan, sedangkan anak perempuan akan menyukai kucing, rusa, kanggaru dan seumpamanya. Ini menunjukkan kecenderungan mereka yang berbeza sejak lahir, dan bukan pengaruh persekitaran. Kita juga dapat melihat bahawa apabila tumbuh dewasa, kaum perempuan umumnya suka mengemas, bersolek, sukakan kecantikan dan sebagainya. Sifat dan kecenderungan ini timbul dalam diri seseorang perempuan secara tabi’i. Seseorang wanita yang tidak memiliki perwatakan wanita bukanlah wanita yang normal, tidak terjadi secara tabi’i, tetapi muncul akibat faktor luaran. Demikian juga sebaliknya. Kerana itu Tuhan tidak menciptakan seorang lelaki yang gay dan perempuan yang lesbian, tetapi manusia itu sendiri yang memilih untuk menjadi gay dan lesbian. Lelaki dan wanita, menurut perspektif Islam khususnya dan masyarakat beragama umumnya, bukan sahaja berbeza kerana mereka memiliki alat kelamin yang berbeza tetapi juga berbeza dari segi esensinya, kerana masing-masing memiliki sifat, kecenderungan dan kemampuan yang berbeza. Perbezaan pada aspek-aspek inilah yang disebut sebagai fiṭrah. Konsep kesetaraan gender oleh kerana itu secara tidak langsung mengetepikan dan menolak wujudnya fiṭrah yang berbeza antara lelaki dengan perempuan. Perbezaan sifat, perwatakan, kecenderungan dan kemampuan ini wujud secara tabi’i innate dalam diri manusia. Ia adalah sunnatullāh dan Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 55 fiṭrah yang Allah tetapkan kepada makhlukNya. Perbezaan fiṭrah antara lelaki dan perempuan ini berlaku secara tabi'i, bukan dibentuk oleh masyarakat dan persekitaran dan ini bermakna konsep gender yang diterima pakai oleh masyarakat Barat serta golongan feminis khususnya, adalah salah, keliru dan berbahaya. Seorang manusia yang sedar bahawa gender adalah ketentuan Tuhan, tidak akan berani untuk merubah gendernya. Ia sedar bahawa ketentuan dan ketetapan Tuhan tidak akan berubah. Seorang lelaki akan tetap menjadi seorang lelaki meskipun ia dapat menukarkan alat kelaminnya kepada alat kelamin perempuan. Begitu juga sebaliknya. Yang membezakan lelaki dengan perempuan adalah esensi dan bukan sifat luaran. Seorang perempuan itu dikenali sebagai perempuan kerana keperempuanannya. Dan seorang lelaki dianggap lelaki kerana kelelakiannya. Kelelakian dan keperempuanan inilah yang menjadi esensi lelaki dan perempuan dan bukan alat kelaminnya jantina. Oleh itu apabila seseorang lelaki mendapatkan khidmat pembedahan untuk menukar alat kelaminnya ia pada hakikatnya tetap seorang lelaki. Seorang suami akan merasa tertipu apabila mengetahui bahawa ternyata perempuan yang dikahwininya sebenarnya adalah seorang lelaki, kerana secara tabi’inya seorang lelaki hanya tertarik kepada lawan jenis bukan sama jenis. Dari segi kemanusiaan, setiap manusia adalah mulia dan terhormat, sama ada lelaki mahupun dan tingkah laku manusia itu sendiri yang akan menyebabkannya dipandang hina oleh orang lain. Dalam pandangan Allah, hanya orang yang bertaqwa yang mendapat tempat yang tinggi di itu tidak menjadi mulia atau hina kerana dia seorang lelaki Dalam al-Qur’an, surah al-Isra’ 70, disebutkan bahawa anak-anak Adam telah dimuliakan oleh Allah SWT, dengan diberikan kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 56 ataupun perempuan, atau kerana dia berkulit hitam ataupun putih, atau menjadi pemimpin, kaya ataupun berkuasa. Ini kerana Islam meletakkan kemuliaan pada nilai yang bersifat spiritual, iaitu ketakwaan, keimanan dan juga ilmu yang dengannya ia dapat memberi manfaat kepada umat mengatur kehidupan suami isteri dan institusi keluarga, Syari’ah Islam mengambil kira perbezaan fiṭrah lelaki dan perempuan. Oleh kerana itu Islam meletakkan keduanya di tempat yang berbeza dengan peranan yang berbeza. Hanya apabila setiap satunya diberikan peranan yang berbeza maka akan berlaku keadilan, sebaliknya apabila keduanya disama-ratakan maka yang akan berlaku adalah ketidakadilan. Kepimpinan Lelaki ke atas Wanita al-Qiwāmah Berbeza dengan dakwaan golongan feminis, sebenarnya persoalan kepimpinan kaum lelaki ke atas kaum wanita adalah sesuatu yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an. Ia bukan lahir dari amalan masyarakat tertentu, dan bukan juga hasil budaya. Kerana itu dalam tradisi Islam perkara ini merupakan sesuatu yang mapan thābit dalam agama dan bukan sesuatu yang berubah mengikut peredaran zaman. Namun begitu hakikat ini tidak dapat diterima oleh kaum feminis Muslim, kerana kepimpinan lelaki dilihat bertentangan dengan konsep kesetaraan gender yang mereka perjuangkan. Beberapa ayat al-Qur’an menegaskan kepimpinan lelaki dalam rumahtangga,, antara lain dalam surah al-Nisā’ 34 Allah berfirman yang maksudnya “Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal qawwāmūn yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan faḍḍalallāh orang-orang lelaki dengan beberapa keistimewaan atas Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 57 orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan memberi nafkah sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat kepada Allah dan suaminya, dan yang memelihara kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan pertolonganNya. Dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka nusyuz hendaklah kamu menasihati mereka, dan jika mereka berdegil pulaukanlah mereka di tempat tidur, dan kalau juga mereka masih degil pukullah mereka dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya. Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” Sebagaimana dijelaskan di atas, perkataan qawwāmūn di dalam ayat ini menjadi bahan perdebatan. Terdapat usaha untuk mentafsirkan semula maknanya, dengan menolak tafsiran para ulama’ terdahulu, agar selari dengan konsep kesetaraan gender. Perkataan qawwām berasal dari perkataan qā’im yang bermaksud penanggungjawab, orang yang memelihara dan bertanggungjawab. Maka qawwām menurut al-Zabidi adalah penjaga dan pemelihara. Menurut beliau lagi, qā’im juga bermaksud orang yang berdiri tegak di dalam kebenaran. Maka qawwām juga membawa makna, orang yang bertanggungjawab memastikan sesuatu itu berdiri di atas jalan kebenaran. Fakhr al-Din al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahawa al-qawwām, berasal daripada ungkapan al-qā’im bi al-amr, iaitu nama atau gelaran yang merujuk kepada Al-Zabidi, Tāj al-ʻArūs, 8775. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 58 seseorang yang dipertanggungjawabkan dengan sesuatu tugas,kerana itu ia adalah pengurus, penanggungjawab dan faḍḍala sering diertikan dalam bahasa Inggeris dengan perkataan preferred. Ia memberi isyarat bahawa kaum lelaki lebih disenangi berbanding kaum perempuan, walhal hakikatnya tidak bermaksud demikian. Ia hanya menegaskan bahawa Allah SWT memberikan kaum lelaki sesuatu yang lebih berbanding perempuan. Seseorang yang diberi nikmat yang lebih tidak semestinya adalah orang yang lebih dikasihi, demikian juga seseorang yang diberikan musibah dan cubaan tidak bermakna ia dibenci oleh Allah. Ini kerana kedua-dua kelebihan dan kekurangan adalah ujian daripada Allah. Al-Qur’an juga menegaskan bahawa Allah SWT menciptakan manusia bertingkat-tingkat, sebahagian memiliki kelebihan ke atas sebahagian yang lain. Kita perhatikan juga di sini bahawa antara sebab mengapa Allah menggunakan perkataan qawwāmūn dan bukan ru’asā’ atau umarā’ yang bermaksud pemimpin, adalah kerana yang ingin ditekankan bukanlah kepimpinan itu sendiri sebagai suatu jawatan, tetapi pemimpin dalam erti orang yang bertanggungjawab menjaga keluarga. Justeru, ia harus dilihat sebagai suatu beban serta tanggungjawab yang akan dipersoalkan, dan bukan satu kedudukan semata. Fakhr al-Din al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009, tafsir surah al-Nisa’, 34. Terjemahan yang diberikan oleh Sahih International adalah “Men are in charge of women”. Ia terjemahan yang lebih tepat berbanding Yusuf Ali “protectors and maintainers”, Muhammad Asad “take full care”, Riffat Hasan “managers”. Wadud, Azizah “breadwinners”, “those who provide a means of support or livelihood”. Lihat Asma Barlas, Believing Women in Islam Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an Austin University of Texas Press, 2002, 186-7. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 59 Fakhr al-Din al-Razi dalam mentafsirkan ayat 34 surah al-Nisa’ menerangkan bahawa kelebihan lelaki berbanding perempuan yang dimaksudkan terbahagi kepada dua jenis pertama, adalah sifat-sifat hakiki seperti ilmu akaldan kekuatan jasmani; kedua, pada hukum-hakam Syari’ah, seperti kepimpinan tertinggi, kepimpinan dalam solat, jihad, azan, khutbah, kesaksian dalam perkara hudud dan qisas, kelebihan dalam harta waris, pembayaran diyat, wali nikah, talak, rujuk, dan hak ayat di atas juga menegaskan tuntutan agar isteri mentaati suami, dan apabila perkara ini gagal dipatuhi maka suami berhak mengambil tindakan yang sewajarnya kepada isteri. Perkara ini kemudian dijelaskan dalam banyak hadith yang menyatakan kewajipan isteri untuk taat kepada suami. Tuntutan untuk mentaati suami dalam ayat dan hadith jelas menunjukkan bahawa suami adalah ketua rumahtangga yang bertanggungjawab untuk menjaga dan memberi nafkah ahli keluarganya. Apabila ditegaskan di dalam al-Qur’an bahawa lelaki, sebagai kelompok manusia dan bukan orang perorangan, Yang dimaksudkan di sini bukan lelaki lebih cerdas daripada perempuan, tetapi kemampuan mereka secara umum berbeza, di mana lelaki lebih’ mampu menggunakan akalnya melebihi perasaannya, dan lebih’ mampu untuk berfikir hal-hal yang umum kullī berbanding hal-hal yang khusus juz’ī. Lihat Fakhr al-Din al-Razi. Mafātīḥ al-Ghayb, tafsir surah al-Nisa’, 34. Antara lain hadith nabi yang bermaksud “Apabila seorang wanita itu menunaikan solat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadan, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, dikatakan padanya masuklah ke Syurga melalui pintu mana yang ia suka’”. Hadith riwayat Ahmad dan Ibn Hibban, no. 4163. Begitu juga hadith “Jika ada aku menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain nescaya aku akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”. Hadith riwayat al-Tirmidhi, no. 1159; Ibn Majah no. 1853. Dalam riwayat Ibn Majah terdapat tambahan “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tanganNya tidaklah seorang wanita itu menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya..” Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 60 adalah pemimpin qawwāmūn bagi kaum wanita, dan diberikan kelebihan satu darjat berbanding perempuan, ini bermakna bukan semua lelaki dapat menjadi pemimpin kepada kaum wanita dalam semua bidang. Boleh jadi dalam bidang-bidang tertentu terdapat individu wanita yang mempunyai kemampuan melebihi ramai lelaki, namun dengan kelebihan yang Allah berikan kepada umumnya kaum lelaki, mereka sewajarnya mampu dan mesti mampu menjadi pemimpin kepada kaum wanita. Maka kepimpinan lelaki ke atas wanita al-qiwāmah bukan suatu bentuk superiority keunggulan, memiliki martabat yang lebih tinggi, yang memberi isyarat bahawa wanita adalah inferior iaitu memiliki martabat yang lebih rendah. Justeru, kepimpinan yang dimaksudkan bukanlah suatu kemuliaan, bahkan kepimpinan dalam Islam pada umumnya bukanlah suatu kemuliaan dan kebanggaan. Ia adalah suatu beban yang berat kerana pemimpin perlu berkhidmat untuk yang dipimpin. Dengan kata lain, penegasan bahawa kaum lelaki adalah pemimpin kepada kaum wanita tidak bermakna bahawa kaum lelaki mendapat kedudukan yang mulia dan istimewa manakala kaum wanita mendapat kedudukan yang hina. Ia juga tidak bermakna bahawa kaum lelaki adalah tuan dan kaum wanita adalah hamba, kerana perkahwinan bukan perhambaan. Meskipun kepimpinan yang dimaksudkan di atas menuntut ketaatan pihak isteri, namun ia bukan ketaatan yang mutlak. Ia adalah ketaatan yang bersyarat, iaitu selama mana perintahnya itu tidak melanggar perintah Allah dan RasulNya. Jika dilihat dari perspektif sekular dan liberal, apapun bentuk perbezaan dalam peranan dan pembahagian tugas yang berbeza adalah suatu bentuk diskriminasi dan mencerminkan budaya patriarki. Oleh kerana Islam menekankan kepentingan institusi keluarga agar harmoni Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 61 dan sejahtera maka perbezaan peranan ini amat perlu untuk memastikan kelestarian hubungan keluarga. Ketika seorang lelaki masuk ke alam rumahtangga maka ia dihadapkan dengan suatu ʻaqad, yakni kontrak, dan melalui kontrak ini seorang lelaki bersetuju menerima seorang wanita untuk menjadi isterinya serta bertanggungjawab untuk memberi nafkah kepadanya. Ia secara tidak langsung bersetuju untuk memegang amanah sebagai kepala rumahtangga. Kegagalannya untuk memperlakukan isterinya dengan baik boleh membatalkan kontrak ini, dan oleh kerananya seorang hakim boleh menjatuhkan hukum juga wanita yang secara suka rela melakukan ʻaqad nikah, secara tidak langsung sebenarnya telah bersetuju untuk menerima kepimpinan lelaki yang menjadi suaminya, bersetuju untuk mentaatinya selama mana ia adalah perkara yang baik dan tidak bercanggah dengan kehendak Allah dan Rasul. Apabila peranan masing-masing dilihat sebagai suatu amanah maka seorang lelaki-pemimpin akan berusaha untuk memberi yang terbaik kepada ahli keluarganya. Telah menjadi aturan hidup di dunia ini bahawa semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita dapat. Manusia yang bersyukur setelah menerima sesuatu kebaikan sewajarnya ia akan membalas budi baik itu dengan memberi lebih. Apabila seorang suami itu adalah orang yang bertanggungjawab, ia akan berusaha untuk kebahagiaan dan kesejahteraan isteri dan keluarganya. Sebagai timbal balik maka sewajarnya isteri akan membalas budi dengan melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan suami. Seorang isteri yang berterima kasih kepada suaminya akan memastikan suami diberikan layanan yang istimewa, memasak makanan yang digemari Kerana itu seorang isteri berhak untuk menuntut cerai di mahkamah apabila lelaki gagal melaksanakan tugasnya dengan baik atau mencederakannya. Fasakh bermaksud melepaskan ikatan perkahwinan. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 62 suami, mengurus rumahtangga dengan baik, semua dilakukan dengan rela hati, bukan terpaksa. Adanya kerelaan dalam diri seorang wanita dan ketulusan hati dalam melaksanakan tanggungjawabnya ini menunjukkan bahawa ia bukanlah patriarki jauh sekali penghambaan terhadap kaum wanita. Ia hanya menjadi suatu bentuk penindasan apabila isteri dipaksa berbuat demikian walhal suami tidak melaksanakan tanggungjawabnya. Maka di sini apa yang penting ditekankan adalah agar setiap pihak melaksanakan tanggungjawab dan kewajipan masing-masing sebagaimana dituntut oleh agama, agar kepentingan dan hak kedua belah pihak, suami dan isteri, terpelihara. Untuk memastikan hal ini maka perlu ada langkah penjagaan, iaitu pendidikan. Melalui pendidikan akan muncul kesedaran dalam diri setiap orang untuk menjadi seorang Muslim, suami dan isteri yang baik, sentiasa menjaga dan menunaikan tanggungjawabnya kepada Allah, agama, keluarga dan masyarakat. Kurangnya pendidikan menyebabkan kerosakan dan kezaliman rumahtangga. Konsep Keadilan dan Kesamarataan Equality Allah SWT menciptakan setiap sesuatu berbeza dari yang lain, dan ini merupakan suatu tanda kebesaranNya. Umum mengetahui bahawa manusia diberikan kelebihan berbanding makhluk yang lain. Ibn Khaldun menegaskan bahawa meskipun dari segi kekuatan fizikal, binatang memiliki kelebihan berbanding manusia, namun dengan kurniaan akal iaitu kelebihan yang paling tinggi diberikan kepada makhluk, maka manusia boleh menguasai makhluk yang lain dan mengatur kehidupan di muka bumi sehingga mampu membangun Iblis yang menafikan kelebihan yang diberikan kepada Adam oleh Allah SWT. Ia tetap dengan Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun BeirutDar al-Fikr, 2004, 53. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 63 pendiriannya bahawa dirinya lebih baik daripada Adam kerana diciptakan daripada api. Penafian ini diiringi dengan keengganan mengikut perintah Allah, ketika Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam ia enggan kerana tidak melihat adanya kelebihan yang diberikan kepada Adam. Hakikat bahawa Adam memiliki kelebihan berbanding Iblis, dan semua makhluk ciptaan Allah, sehingga melayakkan dirinya diberi penghormatan sujud oleh Malaikat dan Iblis diterangkan di dalam al-Qur’ sini tidak timbul persoalan bahawa Iblis telah diperlakukan tidak adil oleh Allah, kerana tiada sesiapa yang dapat mempersoalkan mengapa Allah memberi kelebihan kepada sesetengah makhlukNya berbanding yang lain. Ia sama sahaja dengan mempersoalkan kebijaksanaan dan keadilan Allah SWT, sedangkan manusia tidak mengetahui perancangan-Nya. Kelebihan yang diberikan kepada Adam ini meletakkan manusia di atas makhluk-makhluk yang lain, sebagai khalifah di muka bumi, dan melayakkannya untuk mengurus segala sumber yang ada di bumi dan di langit untuk tujuan yang diridhai oleh Allah. Dari sini dapat disimpulkan bahawa kelebihan yang dimiliki oleh Adam, dan kedudukan yang tinggi diberikan kepadanya berbanding makhluk yang lain, memberi isyarat yang jelas bahawa tiada kesamarataan equality antara makhluk-makhluk Allah tersebut. Hakikatnya setiap manusia memiliki personaliti dan keunikan yang tersendiri. Meskipun wujud persamaan tetapi perbezaan itulah yang menjadikan setiap satunya unik dan bernilai. Ketentuan Allah memberi kelebihan kepada sesetengah manusia berbanding yang lain, serta mengangkat sebahagian ke atas sebahagian yang lain merupakan suatu Luqmān 20; al-Jāthiyah12. Surah al-Anʻām 165 “Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalifah di bumi dan meninggikan setengah kamu atas setengahnya yang lain Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 64 tingkatan-tingkatan ini maka peradaban manusia dapat dibangunkan, berbanding apabila semua manusia diberikan kelebihan yang sama maka akan berlaku kekacauan dan keengganan untuk tunduk dan patuh kepada orang lain yang diberikan kelebihan. Kelebihan yang diberikan kepada seseorang individu adalah suatu ujian daripada Allah, yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Perbezaan antara mnausia, oleh kerana itu, perlu dilihat secara positif. Mengambil kira perbezaan inilah maka kaum ibu sewajarnya mendapat layanan yang istimewa oleh anak-anaknya. Dalam suatu hadith disebutkan bahawa orang yang paling patut disantuni adalah “ibumu” disebut oleh Rasulullah tiga kali, barulah kemudian “bapamu”. Perbezaan layanan ini adalah sesuatu yang wajar melihat kepada besarnya pengorbanan seorang ibu dalam kehidupan anaknya. Seorang anak akan sangat terhutang budi kepada ibunya, kerana pengorbanan yang dilakukan oleh ibu seperti melahirkan dan menyusukan, sehingga meskipun bapa juga banyak berkorban tetapi pengorbanan ibu jauh lebih besar. Jika perbezaan antara ibu dan bapa yang sah tidak diambil kira maka tiada layanan istimewa diberikan kepada kaum ibu, dan pengorbanan ibu yang besar itu tadi akan terlihat tidak dihargai sewajarnya. Justeru itu layanan sama rata kepada kedua ibu dan bapa, adalah satu bentuk ketidakadilan. Oleh kerana itu layanan berbeza perlu dilakukan kepada dua orang manusia yang memiliki perbezaan yang sah. Justeru, ia tidak wajar dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi. Sebaliknya layanan berbeza kepada dua orang beberapa darjat, kerana Ia hendak menguji kamu pada apa yang telah dikurniakanNya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amatlah cepat azab seksaNya, dan sesungguhnya Ia Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani”. Hadith riwayat Muslim, no. 4621, al-Bukhari, no. 5626. Lihat juga hadith yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasa’i dan Ibn Majah yang menyatakan bahawa Syurga berada di bawah telapak kaki ibu Sunan Ibn Majah bi Sharh al-Sindi, 180. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 65 yang tidak berbeza serta tidak memiliki perbezaan yang sah, adalah suatu diskriminasi. Sebagai contoh meskipun seorang khalifah adalah pemimpin masyarakat yang patut mendapat penghormatan dan layanan yang berbeza, namun di mahkamah dan di sisi undang-undang, ia tidak boleh diberikan layanan berbeza dengan yang diberikan kepada orang biasa. Di sisi hukum, keduanya tidak lagi dilihat sebagai pemimpin ataupun rakyat, miskin ataupun kaya, kuat ataupun lemah, tetapi sebagai manusia yang tertakluk kepada undang-undang, sebagai warganegara yang wajib mematuhi undang-undang. Di sini kelebihan yang ada pada khalifah tidak boleh diambilkira meskipun di tempat lain, dalam situasi yang berbeza, ia perlu ditaati dan ini merupakan perbezaan yang sah. Konsep kesetaraan musāwāh atau equality yang dicanangkan oleh sebahagian pemikir Barat bertujuan untuk menghilangkan perbezaan di atas. Konsep equality berasal dari bahasa Perancis, égalité, kemudian menjadi egalitarianism atau equalitarianism dan menjadi tunjang bagi liberalisme pada zaman moden di Barat. Konsep equality jarang digunakan pada masa lalu. Ia hanya popular dan menyebar luas setelah revolusi Perancis. Konsep yang banyak dibahas oleh para sarjana, termasuk ahli falsafah Yunani seperti Aristotle dan para ilmuwan Islam lainnya, adalah justice atau dalam bahasa Arab al-adl keadilan, yang bermaksud meletakkan sesuatu pada tempatnya. Terdapat kisah yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqi tentang keadilan Shurayh al-Qadi ketika menyelesaikan kes Sayyidina Ali, khalifah umat Islam ketika itu menentang seorang Nasrani atas kepemilikan baju besi. Kegagalan Sayyidina Ali mendatangkan saksi menyebabkan kes itu dimenangi oleh Nasrani, meskipun sebenarnya baju besi itu milik beliau. Aristotle, Nicomachean Ethics New York Prometheus Books, 1987, 165. Al-Ghazali, Mīzān al-Amal Kaherah Dar al-Maarif, 1961, 273. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 66 Ini kerana, setiap sesuatu ada tempatnya masing-masing yang sesuai baginya dan tidak sesuai bagi yang lain. Equality atau kesetaraan membawa maksud kesamaan sameness, mengisyaratkan penyamarataan levelling, dan jika diletakkan bergandingan dengan gender maka yang berlaku adalah penyamarataan lelaki dengan perempuan. Maka equality cuba menyamaratakan sesuatu yang Allah ciptakan berbeza dan bertingkat. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahawa Allah memberikan kelebihan bagi kaum lelaki satu darjat berbanding perempuan. Dalam surah al-Baqarah, ayat 228, Allah berfirman yang bermaksud “Dan isteri-isteri itu mempunyai hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka terhadap suami dengan cara yang sepatutnya; dalam pada itu lelaki suami-suami itu mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan isterinya. Dan ingatlah, Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” Para Mufassirun menegaskan bahawa meskipun lelaki diberikan kelebihan satu darjat di atas wanita namun kaum wanita mempunyai hak sebagaimana mereka memikul kewajipan. Al-Qurtubi mengatakan bahawa isteri mempunyai hak untuk dilayani dengan baik, dan diperlakukan dengan terhormat oleh suami mereka, sebagaimana mereka diwajibkan untuk mentaati darajah menurutnya lagi bermaksud kedudukan yang lebih di atas kemampuannya untuk berinfaq, membayar diyat, harta waris dan jihad. Dengan kata lain lelaki diberikan kelebihan memimpin rumah tangga kerana tanggungjawab mereka lebih dalam memberi nafkah dan bekerja. Al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an Beirut Mu’assasat al-Risalah, 2006, 4 52. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 67 Dengan kelebihan ini maka lelaki sebagai kepala rumahtangga perlu ditaati dalam perkara yang ma’ruf baik. Demikian juga perempuan mempunyai hak untuk dikasihi, disantuni, dihormati, dijaga dan dipelihara apabila perempuan menunaikan tanggungjawabnya sebagai isteri dan ibu yang membesarkan dan mengasuh anak-anak. Dengan wujudnya persefahaman dan kerjasama, setiap pihak yang jelas tentang kedudukan masing-masing dan tahu kewajipan dan hak masing-masing maka sudah tentu natijah yang muncul adalah keharmonian dan keadilan dalam rumah tangga dan masyarakat. Maka pernyataan bahawa kaum lelaki diberikan satu darjat kelebihan ke atas kaum perempuan bukanlah suatu bentuk diskriminasi. Ia adalah suatu bentuk penegasan tentang letak lelaki suami dan letak perempuan isteri dalam institusi keluarga. Ayat ini perlu dibaca dengan ayat sebelum ini yang menyatakan bahawa kaum lelaki adalah pemimpin kepada kaum dalam ayat ini sebelum Allah menegaskan kelebihan darjat yang diberikan kepada suami, Allah SWT telah terlebih dahulu menjelaskan kewajipan suami menunaikan hak-hak isterinya seimbang dengan kewajipan dan tanggungjawab isteri kepada suami. Di zaman Rasulullah SAW terdapat seorang wanita yang mengadu kepada Baginda akan rasa kurang puas hati sesetengah wanita terhadap kelebihan yang diberikan kepada kaum lelaki. Maka turun ayat yang menegur sikap seperti ini, yang maksudnya Surah al-Nisa’, ayat 34 “Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki dengan beberapa keistimewaan atas orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan memberi nafkah sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat kepada Allah dan suaminya.” Lihat Tafsir Fakhr al-Din al-Razi bagi ayat 32 surah al-Nisa’. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 68 “Dan janganlah kamu terlalu mengharapkan ingin mendapat limpah kurnia yang Allah telah berikan kepada sebahagian dari kamu untuk menjadikan mereka melebihi sebahagian yang lain. Kerana telah tetap orang-orang lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan orang-orang perempuan pula ada bahagian dari apa yang mereka usahakan; maka berusahalah kamu dan pohonkanlah kepada Allah akan limpah kurniaNya. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu”.Allah SWT menciptakan manusia tidak sama, masing-masing memiliki kelebihan di atas yang lain, dan setiap orang perlu diletakkan berdasarkan tingkat masing-masing. Meletakkan setiap orang pada tempatnya yang berbeza itu adalah keadilan, sedangkan tindakan menyamaratakan mereka semua adalah ketidakadilan. Kesimpulan Daripada perbincangan di atas jelas bahawa konsep kesetaraan gender yang diutarakan oleh kaum feminis telah mengetepikan hakikat bahawa fiṭrah lelaki dan perempuan berbeza. Perbezaan peranan dan tanggungjawab antara dua gender ini oleh kaum feminis telah dianggap sebagai ketidaksamaratan inequality dan ketidaksamarataan dianggap sama dengan ketidakadilan injustice. Kesalahan besar kaum feminis adalah menganggap bahawa perbezaan lelaki dan perempuan yang ditetapkan oleh Islam adalah suatu bentuk patriarki hanya apabila sesuatu agama itu memberikan kesamarataan maka barulah agama itu tidak lagi dianggap mengamalkan patriarki.’ Di sinilah letak kekeliruan yang besar. Adanya perbezaan tidak bermakna ianya suatu ketidakadilan, kerana keadilan tidak boleh disamakan dengan Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 69 kesamarataan, justeru penyamarataan sesuatu yang berbeza adalah suatu ketidakadilan. Wujudnya perbezaan peranan antara lelaki dan perempuan juga tidak boleh ditafsirkan sebagai penindasan, justeru ia sesuai dengan faham keadilan, iaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Para ulama’ yang mentafsirkan al-Qur’an menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul, iaitu meletakkan lelaki dan wanita di tempat mereka masing-masing sesuai dengan fiṭrah. Mereka tidak melakukannya berdasarkan kepentingan kaum lelaki serta tidak mendikskriminasikan kaum wanita serta berlaku berat sebelah terhadap mereka. Para ulama’ pada dasarnya mengikut kaedah yang disepakati dalam ilmu tafsir, dan tidak mentafsirkan al-Qur’an dengan sewenang-wenang. Dengan pemahaman yang tepat terhadap tafsiran al-Qur’an oleh para ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan bukan tafsiran sempit golongan Pseudo-Salafi, kita mendapati bahawa perempuan dalam Islam tidak ditindas, justeru martabat serta kemuliaan wanita tetap dijaga sebagaimana terbukti dalam sejarah Islam. Perbezaan peranan dan fungsi antara lelaki dan perempuan perlu dilihat sebagai sesuatu yang positif. Justeru dengan adanya perbezaan maka suami dan isteri dapat berkerjasama, boleh saling melengkapi dan hidup bersama. Mereka hanya perlu kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menangani perbezaan. Sebaliknya jika keduanya memiliki sifat dan keupayaan yang sama maka kerjasama tidak akan memberi apa-apa nilai tambah, tiada daya tarik antara satu sama lain, dan tidak akan berlaku saling melengkapi. Tiada kekurangan yang boleh dipenuhi oleh pasangannya, dan tiada keperluan untuk mereka hidup bersama. Meskipun terdapat pelbagai bentuk feminisme, namun pada hakikatnya wacana feminisme, baik di Barat mahupun di dunia Islam, adalah bertolak belakang dengan agama, bahkan ada yang anti-agama ataupun sekurang-kurangnya Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 70 berusaha untuk mentafsirkan semula agama agar bersesuaian dengan ideologi feminisme. Pandangan negatif Barat terhadap kedudukan wanita adalah bernuansa kolonialisme dan projek pembebasan wanita yang dilaungkan sejak awal abad ke-20 pada hakikatnya juga adalah untuk kepentingan penjajah. Kerana itu jelas bagi kita bahawa konsep kesetaraan gender gender equality tidak relevan bagi umat Islam. Selain kerana ianya menyalahi aturan dan kehendak Tuhan, iaitu fitrah dan tabiat yang telah Ia tetapkan, juga kerana feminisme muncul di Barat akibat daripada penindasan terhadap kaum wanita. Feminisme di Barat pada dasarnya adalah pemberontakan dan kemarahan terhadap ketidakadilan dan kemarahan yang disalurkan secara halus. Ia adalah perlawanan secara senyap, khususnya melalui penulisan kemudian persatuan-persatuan, terhadap budaya masyarakat yang dikatakan patriarki. Oleh kerana pelaku ketidakadilan ini adalah lelaki, maka lelaki yang menjadi tempat kemarahan itu. Di sinilah letak kesilapannya, sepatutnya masalah ini tidak dilihat tertumpu pada gender tetapi masalah berleluasanya ketidakadilan, masalah sosial dan masalah keruntuhan nilai kemanusiaan, yang berakar pada persoalan metafizik dan pandangan alam. Kesilapan tumpuan ini diakui oleh Doris Lessing 1919-2013, seorang tokoh feminis yang telah melepaskan diri daripada feminisme dan mendapat anugerah Nobel pada tahun 2007, sebagaimana dilaporkan oleh majalah Guardian, Lessing mengatakan “I find myself increasingly shocked at the unthinking and automatic rubbishing of men which is now so part of our culture that it is hardly even noticed”. The Guardian, “Lay off men, Lessing Tells Feminists,” Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 71 Menurut Lessing peperangan lawan jenis sex war yang dilancarkan oleh golongan feminis di Barat sejak abad ke-19 ternyata telah memunculkan suatu budaya di Barat yang juga negatif dan kontra produktif iaitu budaya yang merendahkan kaum lelaki. Rujukan Ahmed, K. ed. The Position of Woman in Islam. Safat Islamic Book Publishers, 1993. Al-Albani, Nasir al-Din. Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah. Beirut Dar al-Salam. 2002. Amin, Qasim. Taḥrīr al-Mar’ah. Kaherah Nawabigh al-Fikr, Aristotle. Politics, terj. Ernest Barker. Oxford Clarendon Press, 1948. Aristotle. Nicomachean Ethics. New York Prometheus Books, 1987. Al-Asfahani, al-Raghib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Damshiq Dar al-Qalam, 2011. Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fatḥ al-Bārī. Riyadh Dar al-Salam, Al-Asqalani, Ibn Hajar. Al-Iṣābah fi Tamyīz al-Ṣaḥābah. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995. Astell, Mary. Political Writings, ed. Patricia Springborg. Cambridge Cambridge University Press, 1996. Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur ISTAC, 1993. Baring, Evelyn. Modern Egypt. London Macmillan, 1908. Barlas, A. Believing Women in Islam Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin University of Texas Press, 2002. Beauvoir, Simone de. The Second Sex. New York Vintage Books, 2011. Bullock, Katherine. Rethinking Muslim Woman and the Veil. Virginia IIIT, 2010. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 72 Al-Ghazali, Abu Hamid. Mīzān al-Amal Kaherah Dar al-Maʻarif, 1961. Al-Ghazali, Abu Hamid. “Iljām al-Awām an Ilm al-Kalām.” Dalam Majmūʻat Rasā’il al-Imām al-Ghazālī. Kaherah Maktabah al-Tawfiqiyyah, Ibn Baz. Risālah Tabḥath fi Masā’il al-Ḥijāb wa al-Sufūr. Madinah al-Jamiʻah a-Islamiyyah, Ibn Khaldun. Muqaddimah Ibn Khaldun Beirut Dar al-Fikr, 2004. Ibn Taymiyyah. Ḥijāb al-Mar’ah wa Libāsuha fi al-Ṣalāh. Riyadh Maktabah al-Maʻarif, 2005. Al-Jurjani. Kitāb al-Taʻrīfāt, ed. Muhammad Siddiq al-Minshawi. Kaherah Dar al-Fadilah, Al-Maqrizi, Ahmad bin Ali. Imtāʻ al-Asmāʻ. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh. Jakarta KPG, Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2008. Mernissi, Fatima. “Virginity and Patriarchy.” In Women and Islam, ed. al-Hibri, A. Oxford Pergamon Press, 1982. Mernissi, Fatima. Beyond the Veil. London Al Saqi Books, 1985. Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. New York Basic Book, 1991. Mir-Hosseini, Ziba. Islam and Gender The Religious Debate in Contemporary Iran. New York Princeton University Press, 1999. Muhsin, A. Wadud. Qur’an and Women. Kuala Lumpur Penerbit Fajar Bakti, 1992. Al-Nawawi. Sharḥ Ṣaḥīh Muslim. Beirut Dar al-Maʻrifah, 1998. Al-Qurtubi. Al-Jamiʻ li Ahkam al-Qur’an. Beirut Mu’assasat al-Risalah, 2006. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 73 Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafātīḥ al-Ghayb. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009. Salih bin Uthaymin. Risalah al-Hijab. Madinah al-Jamiʻah a-Islamiyyah, Sartre, Jean-Paul. Existentialism and Humanism, terj. Philip Mairet. London Methuen, 1948. Spellman, W. M. A Short History of Western Political Thought. London Palgrave-Macmillan, 2011. Stone, Alison. An Introduction to Feminist Philosophy. Cambridge Polity Press, 2007. The Guardian, “Lay off men, Lessing Tells Feminists,” Wadud, Amina. Inside the Gender Jihad. Oxford Oneworld Publication, 2006. Wadud, Amina. Qur’an and Woman. Kuala Lumpur Fajar Bakti, 1992. Wan Mohd Nor Wan Daud. Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization. Johor Bahru Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, 2013. Wollstonecraft, Mary. A Vindication of the Rights of Woman. Dublin J. Stockdale, 2010. Al-Zabidi, Muhammad Murtada. Tāj al-ʻArūs. Beirut Dar Sadir, 2011. Zainah Anwar, ed. Wanted Equality and Justice in Muslim Family. Petaling Jaya Musawah Sisters in Islam, 2009. Al-Zamakhshari, Muhammad bin Umar. Asās al-Balāghah. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 74 ... Pengertian gender menurut Harris & Muhtar 2019, bahwa gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Sementara Fakih 2008 mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. ...Manusia dan lingkungan adalah dua variabel yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan manusia adalah bagian penting dari lingkungan itu. Buku ini mengulas hal-hal penting terkait dengan aspek sosiologis dari manusia atau masyarakat dari kedudukannya terhadap eksistensi lingkungan. Di dalamnya diketengahkan beberapa konsep sosiologi lingkungan dan penerapannya secara empirik pada dinamika sosial dan lingkungan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Humans and the environment are two variables that are interrelated and cannot be separated. Even humans are an important part of that environment. This book reviews important matters related to the sociological aspects of humans or society from their position in relation to the existence of the environment. In it, several concepts of environmental sociology are presented and their empirical application to social and environmental dynamics that are often encountered in everyday life.... Gender equality does not mean treating men and women equally, but rather realizing fair treatment for men and women by considering the different needs of women and men [18]- [20]. Qualitatively, the direction and targets of gender equality policies are aimed at systematically addressing various gender inequality issues in various development fields [6], [21]. Quantitatively, gender equality refers to 1 Achievement of basic abilities education, health, and economy that is equal for men and women because of the development priorities; and 2 improve the balance of women's representation in the realm of decision-making [22], [23]. ...... One of the big misunderstandings from them is the differences of men and women existed by Islam are a form of patriarchy because they believe that the religion which gives equality is the religion that is no longer used to practice patriarchy A. Harris & Muhtar, 2019. In fact, patriarchy had an enormous impact on women in Islam even though there is no inherent or logical link between patriarchy and Islam Mir-Hosseini 2003, and it has been claimed to be the practice among tribes in the pre-Islamic era. ...In 2015, United Nations UN has implemented 17 Sustainable Development Goals SDGs, where the fifth goal aims to achieve gender equality and empower all women and girls all over the world. The efforts of promoting gender equality are not new, yet it is a continuous mission as a global concern from one generation to another. Islam is one of the religions which attempts to emphasize equality for all mankind. Unfortunately, there are claims that gender inequality and injustice are being justified in the name of Islam. Islamic texts are blamed for having deliberately encouraged gender bias and have shown a preference for males over females. The stereotype image of the female role is continuously portrayed as a symbol of the oppression of Muslim women, even though in the present-day women have been given other significant roles in society. Therefore, this study aims to remove any accusation that claims Islam is an unjust religion towards gender equality and analyse its value within the current context. Applying the qualitative design, this study collects and analyses related verses from the Quran and selected hadiths from six canonical books of hadith known as Kutub Sittah. As a result, the study found the similarity and differences on the concept of gender equality in SDG and the Islamic texts from the Quran and hadith. However, eliminating injustice and discrimination towards women should be significantly continued as a global and humanitarian article aims to analyze the concept of gender equality in Islamic Economics and its implications for national development. The method of writing this paper uses qualitative methods, data and information are collected by conducting a literature search. The results of this study indicate that the accommodation of gender equality will have a good impact on the economic sectors so that it will indirectly support the continuity of the country's economic development, which can be one of the ways to achieve economic growth, eradicate poverty, hunger, so that it becomes an integral part of efforts sustainable development. Keywords Gender Equality, Islamic Perspective, Sustainable Development Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis konsep kesetaraan gender dalam Ekonomi Islam dan implikasinya terhadap pembangunan nasional. Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kualitatif, data dan informasi dikumpulkan dengan melakukan penelusuran pustaka. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terakomodasinya kesetaraan gender akan berdampak baik terhadap sector sector perekonomian sehingga secara tidak langsung akan menungjang kelangsungan pembangunan ekonomi negara, yaitu dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, mengentas kemiskinan, kelaparan, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Kata Kunci Kesetaraan Gender, Perspektif Islam, Pembangunan BerkelanjutanSyed Redzuan AlsagoffAsan Ali Golam HassanWan Suhaimi Wan AbdullahChanges in the understanding of gender are making it complicated to use gender as a category of analysis. Previously, it was generally accepted that gender is a binary category, comprising of male and female, based on clear biological distinction. Then came the idea that gender is a sociocultural construct. More recently, gender is said to be based on each person’s personal conception of himself or herself. These novel ideas have detached the meaning of gender from its biological foundation and have consequently made the concept of gender ambiguous and subjective, with theoretically infinite possible interpretations that can formulate an indeterminate number of genders. Such arbitrariness is unsuitable for scientific analysis. Accordingly, mainstream economists, in their aspiration to be scientific, have largely ignored these semantic developments and have continued to use the biologically defined binary categorisation of gender, presumably because of its practicality when used in economic analysis. From an Islamic perspective, economists are right to use such definition of gender, not because it is practical to do so, but because it conforms to reality and truth ḥaqq as revealed by religion. This article discusses these ideas as well as their history and interactions to show that from an Islamic perspective the number of genders is not indeterminate, nor is gender only practically binary, but it is really and truly binary in line with the worldview of de Beauvoirde Beauvoir writes that "humanity is male and man defines woman not in herself but as relative to him; she is not regarded as an autonomous human being" "He is the Subject, he is the Absolute-she is the Other" "When man makes of woman the Other, he may, then, expect her to manifest deep-seated tendancies toward complicity. Thus woman may fail to lay claim to the status of subject because she lacks definate resources, because she feels the necessary bond that ties her to man regardless of reciprocity, and because she is often very well pleased with her role as the Other" "Christ was made a man; yes, but perhaps for his greater humility"Fatima MernissiIt is no secret that when some marriages are consummated, the virginity of the bride is artificial. Enough young women to delight the gynaecologists with the relevant skills, resort to a minor operation on the eve of their wedding, in order to erase the traces of pre-marital experience. Before embarking on the traditional ceremonies of virginal modesty and patriarchal innocence, the young woman has to get a sympathetic doctor to wreak a magical transformation, turning her within a few minutes into one of Mediterranean man's most treasured commodities the virgin, with hymen intact sealing a vagina which no man has then, virginity is a matter between men, in which women merely play the role of silent intermediaries. Like honour, virginity is the manifestation of a purely male preoccupation in societies where inequality, scarcity, and the degrading subjection of some people to others deprive the community as a whole of the only true human strength self- confidence. The concepts of honour and virginity locate the prestige of a man between the legs of a woman. It is not by subjugating nature or by conquering mountains and rivers that a man secures his status, but by controlling the movements of women related to him by blood or by marriage, and by forbidding them any contact with male Position of Woman in IslamRujukan AhmedRujukan Ahmed, K. ed. The Position of Woman in Islam. Safat Islamic Book Publishers, al-Mar'ah. Kaherah Nawabigh al-FikrQasim AminAmin, Qasim. Taḥrīr al-Mar'ah. Kaherah Nawabigh al-Fikr, to the Metaphysics of IslamS M Al-AttasAl-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Teksteks ayat tentang kesetaraan. Jumlah teks - teks yang memarjinalisasikan perempuan memang cukup banyak dalam Alkitab, namun ini tidak berarti ayat-ayat yang setara gender dapat diabaikan. Padahal naskah teologi kesetaraan gender jelas diungkapkan di perjanjian Lama. Sebagaimana diungkapkan Rosemary Radford Ruether "Pernyataan penuh

Lori Official Writer 7865 Efesus 6 13 Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu. Bacaan Alkitab Setahun Mazmur 112; Lukas 24; Hakim-Hakim 11-12 Wanita manapun akan rentan jadi wanita korban luka hati dan perasaan. Bisa karena ucapan orang lain, perlakuan tidak adil dalam hubungan, tertekan karena gak punya kesempatan menggapai mimpinya dan lain sebagainya. Kamu mungkin pernah mengalaminya di masa lalu. Tapi hari ini, jangan mau hidup lagi sebagai korban. Sebagai wanita kamu harus tahu, Alkitab menyampaikan bahwa kita adalah para pengikut Kristus. Perjuangan kita bukan melawan darah dan daging, tapi melawan pemerintah, penguasa-penguasa, penghulu dunia yang gelap dan melawan roh-roh jahat di udara Efesus 6 12. Ayat inilah yang mengingatkan aku supaya setiap wanita Tuhan harus menjadi pejuang, bukan menjadi sosok yang ketakutan dan hidup sebagai korban perasaan dan luka hati. Alkitab mengingatkan kita dalam Efesus 6 10-11 supaya jadi kuat di dalam Tuhan dan dalam kuasa-Nya yang perkasa’ dan untuk mengenakan perlengkapan senjata Allah supaya kita dimampukan untuk melawan siasat si iblis’. Alkitab bahkan menyampaikan dengan jelas tentang bagaimana kita mengenakan masing-masing perlengkapan senjata iman sesuai dengan fungsinya. “…dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat…” Efesus 6 16 Aku mulai berpikir, berapa banyak dari wanita-wanita Tuhan yang jatuh dalam jerat si iblis karena percaya dengan kebohongannya? Kadang kala dia akan membisikkan dalam hatimu seperti kalimat-kalimat ini Gak ada yang benar-benar mengasihimu. Kamu adalah seorang ibu yang menyedihkan. Suamimu tidak benar-benar mencintaimu, dia tak lagi menganggapmu. Kamu bilang kamu anak Tuhan? Tapi tindakanmu tidak! Kamu patut malu dengan masa lalumu. Semua orang tahu kalau kamu pura-pura. Akui saja! Kamu gak akan pernah bisa menjalani hidup yang bermakna dan penuh tujuan, jadi jangan tak perlu berharap! Semua kata-kata ini adalah kebohongan si iblis yang berusaha dilemparkan ke kita, menusuk pikiran kita dan membuat kita ragu akan diri kita sendiri. Si iblis mencoba meyakinkan kita kalau firman Tuhan adalah kebohongan dan setiap perkataan mereka benar. Tapi Alkitab mengingatkan kita untuk mengenakan perlengkapan senjata Allah sebagai pertahanan atas kebohongan, tuduhan dan siasat. Saat kita mengenakan perlengkapan senjata Allah, kita membungkus diri kita dalam karakter Kristus dan kita tinggal di dalam Dia. Kita harus mengencangkan sabuk kebenaran di pinggang kita. Karena itu melambangkan kebenaran di dalam Yesus Yohanes 14 6. Apa fungsi perlengkapan senjata Allah? Kita harus mengenakan baju zirah keadilan untuk menutupi hati kita dengan kebenaran Kristus Yeremia 23 6. Kita harus mengenakan perisai iman untuk memadamkan anak panah si iblis Mazmur 84 11. Kita harus memakai ketopong keselamatan untuk menjaga kepala dan pikiran kita di dalam Kristus. Kita harus memakai pedang Roh yaitu firman Tuhan Yohanes 1 14. Waktu si iblis mulai membisikkan kata-kata negatif tentang dirimu, jangan segan-segan untuk menyerangnya. Jangan jadi korban dan akhirnya dimangsa oleh kebohongannya. Sebaliknya, jadilah wanita pejuang. Percayalah dengan kebenaran firman Tuhan yang berkata tentang siapa kamu dan kuasa Tuhan di dalam dirimu. Berdirilah teguh dalam kebenaran. Cara termudah untuk menghadapi tuduhan dan serangan adalah memuji Tuhan dan berdoa. Jadilah seperti Ratu Ester yang tak mau menyerah dengan siasat jahat yang dia dengar. Dia adalah srikandi iman Tuhan. Hari ini, bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, biarlah renungan ini semakin menguatkan para wanita di negeri ini bahwa kamu adalah sosok yang berharga dan berkenan dihadapan Tuhan. Teruslah berjuang dan jangan pernah jadi korban atas kondisi yang kamu alami. Hak cipta Cindi McMenamin, disadur dari Kamu diberkati dengan renungan harian kami? Mari dukung kami untuk terus memberkati lebih banyak orang melalui konten-konten terbaik di website ini. Yuk bergabung jadi mitra hari ini. DAFTAR DI SINI

Disebutkandalam ayat ini, penciptaan manusia berasal dari seorang laki-laki dan perempuan. Zamakhshari, Razi dan Baydhawi, sebagaimana diungkapkan Muhammad Asad dalam The Message of the Quran, menjelaskan manusia diciptakan Allah dari seorang ayah dan ibu. Artinya, kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama
FnOt11.
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/111
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/78
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/381
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/403
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/129
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/261
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/161
  • 0n85zq0k5r.pages.dev/263
  • ayat alkitab tentang kesetaraan gender